Monday, November 06, 2006

Dialog Antar Agama Lebih Tepat

Wawancara dengan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat *)

Cendekiawan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat terpilih dengan suara mutlak menjadi Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullahm, Ciputat, Senin (16/10/2006). Pria kelahiran Magelang, Jawa Tengah, 18 Oktober 1953 itu menggantikan Prof. Dr. Azyumardi azra yang telah menjabat rektor kampus tersebut selama dua periode. Penulis buku Memahami Bahasa Agama dan Psikologi Kematian itu dikenal sebagai sosok yang tduh dan tak jemu menganjurkan dialog antar-agama.

Komaruddin menyelesaikan pendidikan menengahnya di SMP Kanisius, Muntilan, dan kemudian di Pesantren Pabelan, Magelang. Ia melanjutkan ke IAIN Syarif Hidaytullah, Jakarta, dan meraih PhD Filsafat dari The Middle East University, Ankara, Turki.

Selain masalah keislaman dan dialog antar-agama, Komaruddin juga kerap bicara soal dunia pendidikan, politik, dan sumber daya manusia. Untuk mengungkap berbagai pemikiran sang rektor, wartawan Media Indonesia Chavchay Syaifullah mewancarai sosok yang akrab disapa Mas Komar itu di kediamannya, di Jalan Semanggi, Ciputat, Tanggerang, Banten. Berikut petikannya

Bagaimana Anda melihat masalah pendidikan saat ini?
Baik, saya akan mulai dari fenomena global society. Sebab walaupun terkesan klasik, fenomena ini tetap tidak bisa dianggap sepele. Pengaruh penyebaran capital dan knowledge ke wilayah-wilayah pelosok yang dahulu tidak terjangkau, kini tidak lagi dapat kita hindari.

Artinya?
Arinya capital dan knowledge menjadi bagian penting global society. Harga cabai di pasar atau ongkos angkot di sini bisa punya kaitan dengan krisis minya di Amerika, Afghanistan, Irak. Knowledge juga begitu. Sekarang ini toh sudah semakin tampak ada beberapa negara yang cerdas merespons fenomena global society, sehingga ia bias berkembang sebagai aktor global. Tapi tjuga ada beberapa yang malah jadi korban. Ambil contoh yang terbaru, Jepang, India, China, Malaysia, dan Korea Selatan, meraka ikut sebagai global society dan ikut tampil sebagai aktor.

Apa kaitannya dengan pendidikan kita?
Dalam konteks pendidikan, kita termasuk warga negara yang kurang cerdas memanfaatkan momentum. Ketika pada zaman Orde Baru ada momentum ekonomi berkembang dan politik stabil, kita kurang bisa memanfaatkannya untuk membangun sistem pendidikan yang baik dan bermutu. Akhirnya yang terjadi pendidikan kita tidak bermutu dan birokrasi korup. Kita pun kehilangan sumber daya ekonomi dan intelectual capital.

Akhirnya ketiak setiap tahun terjadi wisuda sarjana, kita bisa bertanya apakah para sarjana yang diwisuda itu qualified. Selain itu, ketika mereka masuk ke dunia kerja, apakah mereka bisa cukup produktif? Saya duga tidak. Sebab sudah kualitasnya kurang baik, mereka digilas dengan iklim birokrasi yang korup.

Jadi, bagaimana ke depan?
Pemerintah dan kita semua harus bekerja keras menyediakan fasilitas agar para ilmuwan itu bisa betah di dalam kampus. Birokrasi dan politik harus bisa mengondisikan para sarjana kita untuk lebih produktif. Kita juga harus meningkatkan paradigma kita bahwa pendidikan adalah pilar dan aset bagi bangsa ini. Ingat, kesadaran bernegara dan berbangsa yang baik hanya bisa muncul dari dunia pendidikan yang baik.

Bagaimana pandangan Anda tentang pendidikan yang Islami?
Sejak dulu saya memakai istilah pendidikan qurani, maksudnya agar pendidikan yang kita jalankan berdasarkan pada kita suci Al-quran. Ini lebih substansial. Dengan begitu pendidikan kita pun akan mampu bicara tentang segala aspek. Al-quran kan telah diakui oleh sejarah sebagai sumber peradaban manusia, dan telah memberi petunjuk bagi kehidupan ini.

Al-quran bicara soal kesehatan, pertanian, sosial, lautan, ya semuanya. Jadi Al-quran memberikan isyarat pengetahuan, norma-norma, tapi dielaborasi berdasarkan keilmuan. Ilmu kedoktaran itu qurani, sebab Al-quran menyuruh kita hidup sehat. Manajemen itu qurani, sebab Al-quran menyuruh kita hidup tertib. Ilmu ekonomi itu qurani, sebab Al-quran mengajarkan kita jadi orang kaya. Sebab kalau kita tidak kaya bagaimana kita menolong orang miskin?

Jadi Anda lebih setuju dengan istilah “pendidikan qurani” dari pada “pendidikan islami”?
Ya, sebab Al-quran sangat serius menyuruh kita mengeksplorasi segala pengetahuan di dunia ini. Di samping itu, pendidikan Al-quran juga ada etika. Seperti kita disuruh pintar tapi harus berguna bagi kemaslahatan umat dan seterusnya.

Dulu pada pasir itu gundul, tapi begitu Al-quran datang padang pasir tumbuh subur, dan menjadi sumber peradaban. Ini sudah dibuktikan sendiri oleh sejarah. Bila ada orang yang mengingkari kebenaran isi Al-quran, kita tidak perlu membela. Sebab Al-quran mampu membela dirinya. Al-quran mampu menunjukkan kebenaran dirinya sendiri.

Apa pandangan Anda tentang pluralisme?
Saya kurang senang dengan istilah pluralisme. Sebab istilah itu terlalu mengundang kontroversi. Saya lebih senang menggunakan istilah dialog antar-agama. Dialog antar-agama lebih tepat dan pas. Dengan dialog kita pertama-tama mengasumsikan ada yang berbeda, tapi bisa didialogkan.

Mengapa demikian?
Begini. Ada lima aspek dalam agama. Pertama, aspek keyakinan yang bicara soal doktrin Tuhan. Kedua, aspek kenabian yang bicara soal pendiri agama. Ketiga, aspek kitab suci yang menjadi pedoman hidup umat beragama. Keempat, aspek ritual. Dan kelima ialah aspek etika sosial. Pada aspek sosial inilah yang bisa didialogkan. Dalam pengalaman saya di bidang ini, kita semua saling menghargai meski kita semua tahu bahwa agama itu berbeda.

Semangat apa yang harus ditanamkan dalam dialog antar-agama?
Kita semua harus tahu dulu mengasumsikan pada pluralitas yang saling membuka diri untuk berbagi dan menghargai perbedaan. Dialog juga menuntut kita untuk bisa bekerjas sama untuk hal-hal yang bisa disamakan. Misalnya membangun etika politik, memerangi korupsi dan seterusnya.(Sumber Harian Media Indonesia – Ahad, 22 Oktober 2006)
Bacaan Selanjutnya!