Wednesday, June 07, 2006

“Islam itu mesti menjadi Way of Life”
Wawancara dengan Dr HM Roem Rowi, MA

“Jadi islam itu dikenalkan kepada masyarakat Indonesia secara parsial, tidak secara utuh bahwa islam itu seperti ini dan didalami satu persatu, sehingga pemahaman tentang aqidah dan akhlaq sedemikian mantap, baru berikutnya syariah”.

Sudah tak terhitung, Prof. Dr. Roem Rowi, Guru Besar Ilmu Alqur’an, Program Pasca-sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, datang ke Al-Zaytun. Bisa dipastikan, setiap kali Al-Zaytun menggelar acara, tokoh agama Jawa Timur, kelahiran Ponorogo 3 Oktober 1947 itu akan hadir. Namun, kedatangan pada Kamis awal Maret lalu, mempunyai tujuan tersendiri, memberikan kuliah umum kepada mahasiswa UAZ tentang Islamologi, ilmu yang membahas keislaman. “Belajar Islam itu mesti kafah”, katanya kepada mahasiswa.

Tetapi pak Roem, begitu doktor lulusan Universitas Al-Azhar Kairo, 1989 ini akrab disapa, kurang sependapat dengan istilah Islamologi untuk memaknai apa yang disampaikannya kepada mahasiswa UAZ. Menurutnya lebih tepat dikatakan studi Islam. Alasannya, jika Islamologi itu hanya bedah ilmunya saja, misalnya seorang bukan penganut Islam mempelajari Islam, biasanya hanya sebatas Ilmunya saja. Akan tetapi, jika orang Islam yang mempelajarinya, maka akan dipraktikan dalam kehidupannya. “Itulah sebabnya apa yang saya sampaikan ini lebih tepatnya dikatakan studi Islam,” jelasnya.

Usai memberikan kuliah selama satu hari penuh yang dibagi menjadi empat sesi, dan setiap sesinya memakan waktu satu setengah jam, dosen terbang yang rencananya akan memerikan kuliah umum tentang kajian Islam kepada mahasiswa UAZ pada pekan pertama setiap bulannya ini. Memberikan kesempatan kepada Al-Zaytun untuk sebuah wawancara, di basement Gedung Ali bin Abu Thalib.

Bisa dijelaskan apa sebenarnya Islamologi itu?
Islamologi itu ilmu keislaman, ilmu tentang Islam. Namun, demikian istilah itu kurang pas. Tepatnya adalah studi Islam, karena kalau islamologi itu hanya bedah ilmu, misalnya orang Barat mempelajari Islam, itu hanya sebatas ilmunya saja, sementara kalau orang Islam mempelajarinya itu untuk kehidupannya. Itulah sebabnya saya merasa kurang pas kalau dikatakan studi Islam, sehingga bisa mengkaji Islam lebih mendalam.

Apakah materi yang Pak Roem sampaikan kepada mahasiswa UAZ sudah pernah diberikan sebelumnya di universitas lain?
Kalau untuk studi Islam di Al-Zaytun ini untuk pertama kalinya. Selama ini saya memberikan studi Alqur’an, ukum al-qur’an. Hadis dan tafsir, dan semua yang saya berikan itu bagian dan studi Islam.

Jadi apa yang diberikan kepada mahasiswa UAZ?
Saya memberikan prinsip-prinsip dasar tentang Islam, tetapi bukan ilmu, namun, untuk kita terapkan.

Biasanya keilmuan seperti itu diberikan di mana? Apakah pernah diberikan di universitas atau fakultas yang tidak mengkhususkan diri mempelajari ilmu agama?
Selama ini studi Alqur’an hanya diberikan kepada mahasiswa yang belajar di Fakultas Agama, jurusan Ushuludin, Syariah atau Tarbiyah. Juga sekolah Islam, misalnya di IAIN. Untuk di universitas umu itu porsinya kecil sekali.

Apa sebenarnya tujuan pemberian ilmu tentang Islam itu?
Untuk lebih mengenal Islam secara lebih dekat, mendasar dan kaffah. Tdiak seperti yang kita warisi secara awam itu. Benar-benar Islam itu menjadi way of life. Jadi ini sangat penting.

Apakah Pak Roem melihat ini sebagai salah satu upaya untuk pembentukan mentalitas generasi muda?
Jelas, seperti yang saya katakan tadi tentang, akidah, syariah dan akhlak. Akidah yang mantap, syariah mesti jalan, dan syariah ini akan menghasilkan akhlak. Inilah tolok ukur orang islam. Jika, akhlaknya tidak benar, bisa dipastikan akidah dan syariahnya tidak bagus, dan apa yang dilakukan hanya formalitas saja, tidak menggunakan penghayatan, tidak dijiwai. Untuk itu, saya mengharapkan pemberian studi Islam ini akan menjadikan generasi muda yang bermental bagus.

Pak Roem mengatakan baru memberikan studi Islam di UAZ, padahal studi ini sangat penting untuk pembentukan mental. Apakah ada rencana untuk memberikannya ke universitas lain?
Insya Allah. Hanya saja di fakultas lain itu spesialisasi kita berbeda-beda, semacam ada kaveling sendiri-sendiri setiap dosen. Jadi, kalau saya merambah ke situ nantinya dianggap merebut kaveling-nya orang. Kan itu menjadi tidak baik.
Mengapa Pak Roem tidak memberikan keilmuan seperti ini kepada masyarakat, supaya masyarakat memahami hal yang sebenarnya tentang ajaran Islam?
Untuk hal ini saya katakan ada kesalahan metodologis. Jadi Islam itu dikenalkan kepada masyarakat Indonesia secara parsial, tidak secara utuh bahwa Islam itu seperti ini dan didalami satu persatu, sehingga pemahaman tentang akidah dan akhlak sedemikian mantap, baru berikutnya syariah. Jadi, kita ini seringkali mendahulukan syariah, dipreteli dan tidak dijelaskan posisi syariah itu dalam Islam itu seperti apa.

Apakah itu juga terjadi di lingkungan mahasiswa yang belajar di fakultas agama?
Yang di fakultas itu asalnya kan dari bawah, dari pendidikan di bawah sehingga ke atas juga akan seperti itu.
Dampak dari pemahaman ilmu yang diberikan secara parsial tadii tampaknya tidak sedikit. Apakah ada usaha untuk memberikan ilmu Islam secara utuh kepada masyarakat sehingga masyarakat menjadi mengerti tentang ajaran yang dianutnya?
Usaha itu tetap ada, hanya sifatnya masih belum di dalam sistem, karena kita tahu negara kita bukan negara Islam. Kalau ada dilakukan seperti itu nantinya ada yang curiga ini dan itu. Tetapi, jika itu masuk ke dalam sistem, misalnya Depdiknas itu akan sangat ideal sekali. Bahkan, saat ini Depag saja, saya kira juga belum mampu. Masih sedemikian rupa, cenderung memisahkan agama dari kehidupan terutama kehidupan bernegara dan masyarakat.
Apakah ahli agama Islam di Indonesia memahami fenomena yang terjadi ini?
Kalau dikatakan memahami betul, saya tidak tahu persis, tetapi da yang memahami dan berusaha untuk memperbaiki. Namun, ada juga tokoh atau semacam yang ditokohkan kadang-kadang tidak tahu menahu tentang hal seperti itu. Sering kali mereka menanamkan sikap fanatisme golongan yang berlebihan, sehingga antar kita sendiri sering kali class. Ini anehnya.
Bukankah hal semacam ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut?
Kan mestinya, namanya umat Islam itu harus punya satu figur pemimpin, contohnya seperti shalat itu satu saja. Tetapi, semuanya loyal kepada imam. Dalam konteks kita, kita belum punya seperti itu, dan masing-masing mempunyai pemimpin. Masing-masing pemimpin seringkali mengatakan ikuti saya atau ajaran itu salah atau enggak benar. Jadi kita ini, khususnya umat Islam terjadi krisis kepemimpinan. Indonesia secara formal kan ada dengan adanya presiden. Tetapi, kalau Islam tidak ada pemimpin yang menjadi pemersatu.
Sebagai ahli agama, langkah apa yang dilakukan Pak Roem secara pribadi untuk mengubah kenyataan Islam di Indonesia ini?
Kita berusaha dilingkungan yang kecil terlebih dahulu, untuk mengintegrasikan ajaran Islam atau pendidikan ajaran Islam itu melalui setiap mata ajar yang diajarkan kepada siswa, terutama masalah akidah tadi. Misalnya, yang mengajarkan biologi atau tentang tanaman, jangan hanya mengatakan akar ini fungsinya untuk ini, daun seperti ini. Mestinya dilanjutkan lagi siapa yang mengatur adanya seperti itu. Yang mengajar bahasa juga harus seperti itu, dan ditunjukkan ayat Alqur’an. Jadi di lembaga-lembaga yang kami bina itu sudah mulai mengarah ke sana. Sehingga pendidikan agama itu menjadi tanggung-jawab bersama. Hari ini seakan menjadi tanggung jawab guru agama tetapi lainnya lepas. Yang biologi jalan sendiri, yang fisika jalan sendiri, sehingga harus menjadi misi dari lembaga pendidikan, itu dan semuanya bertanggung jawab.

Bagaimana Pak Roem melihat langkah Al-Zaytun denga memberikan kuliah Islamologi kepada para mahasiswanya?
Saya menyatakan sangat positif. Bahkan, di perguruan tinggi umum meskipun mungkin tidak ada seperti ini. Hanya saja, ada mahasiswa yang aktif sengaja mencari sendiri. Karena sekarang nin masih dikotomis, yang umum ya umum saja, dan enggak kenal sama sekali dengan ilmu agama, kalau tidak mencari. Jadi ini suatu aset yang sangat bagus sekali.

Jika mencari sendiri-sendiri, bisa jadi masyarakat Indonesia akan kemabli terjebak dalam pemahaman Islam yang parsial?
Ya, nantinya seperti itu. Menurut saya, sepertinya pemahaman tentang Islam ini memang mesti dengan formalitas, misalnya dua SKS untuk studi Islam, sehingga jika mereka tidak puas dan mencari keluar. Jadi, mesti digarap secara serius. Krisis bangsa ini sebenarnya berangkat dari kurangnya pemahaman agama. Karena pendidikan agama yang tidak mantap, sehingga memunculkan manusia yang mempunyai mentalitas yang kurang bagus. Akhirnya memunculkan krisis yang tidak pernah berhenti. Ini harus menjadi pelajaran buat kita bahwa agama itu tidak bisa kita kesampingkan.

Jadi faktor kebobrokan mental bangsa ini karena pemahaman agama sejak awal sudah keliru?
Ya, dan karena pendidikan agama dikesampingkan. [Sumber MAZ-44/2006]

0 Comments:

Post a Comment

<< Home