Saturday, June 10, 2006

Al-Zaytun Patut Dicontoh
Prof Dr HM Roem Rowi, MA

Ahli Tafsir Al-Quran dan mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur, Prof Dr HM Roem Rowi, MA mengatakan Al-Zaytun itu aset umat Islam dan bangsa Indonesia yang perlu dan patut dicontoh dan dijaga. “Kita harus mengucapkan terima kasih dan bangga dengan apa yang telah dilakukan oleh Syaykh Panji Gumilang dan kawan-kawan di Al-Zaytun, sebab itu merupakan lembaga pendidikan masa depan yang modern,” begitu penuturan Prof Dr HM Roem Rowi dalam percakapan dengan Tim Wartawan Tokoh Indonesia, di Surabaya (9/2/2006).

Menurutnya, apa yang diperbuat oleh Panji Gumilang dengan para eksponennya di Al-Zaytun patut kiranya kita contohi. Manajemen dan infrastrukturnya luar biasa. HM Roem Rowi pun mengutip apa yang pernah dikemukakan mantan Menteri Kehutanan Muslimin Nasution, bahwa Al-Zaytun itu hebat, kekurangannya hanya satu: Tidak bisa ditiru. Kalau mengejar dia, kita selalu ketinggalan. Kita kejar satu kilometer, dia sudah lari 100 kilometer. Jadi gerakannya tidak ada duanya.

HM Roem Rowi juga menyatakan paling kaget dan kagum, ketika menghadiri peresmian Universitas Al-Zaytun, Agustus 2005. Di sana ada gedung yang peletakan batu pertamanya dilakukan oleh seorang pendeta. Menurutnya, ini sangat luar biasa. “Jadi, toleransinya sampai ke dalam pembangunan kampus. Hal seperti ini belum pernah terjadi di mana pun juga,” ujar Ketua Dewan Syariah, Lembaga Manajemen Infaq, Jawa Timur itu.
Ditegaskannya, Syaykh Panji Gumilang tidak hanya menciptakan semboyan kosong tetapi benar-benar diaplikasikan. Dimulai dari diri sendiri, dan beliau juga menyarankan mulailah dari dirimu sendiri. Kemudian disebarkan ke seluruh eksponen dan orang-orang lain.
Prof Dr M Roem Rowi dan Syaykh Al-Zaytun AS Panji Gumilang, dua sahabat kental semasa di Pondok Gontor dan sama-sama mahasiswa IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat. Kemudian sekian lama tak bersua, seperti kehilangan jejak satu sama lain. Namun sesungguhnya, kendati tak bersua secara fisik, mereka saling memantau dari jauh, ada ikatan batin.
Suatu ketika, Roem mendengar berita bahwa Presiden BJ Habibie meresmikan sebuah pondok pesantren termegah di Asia, namanya Al-Zaytun. Dia juga sepintas mendengar bahwa Ponpes tersebut dipimpin oleh Syaykh Abdussalam Panji Gumilang. Mendengar nama Abdussalam, dia langsung teringat sahabat karibnya itu, namun dia masih ragu. Dalam hati, dia ingin memastikannya.
Sampai suatu hari, ketika mengikuti seminar semalam di kota Malang, Roem menerima telepon dari seseorang yang tidak mau menyebutkan namanya. Roem diminta datang ke Al-Zaytun dengan menumpang kereta api Anggrek. Roem menyimpan tanda-tanya, apakah tokoh Al-Zaytun, teman sekolah di Gontor dan teman kuliahnya di Ciputat yang bernama Abdussalam Rasyidi itu yang menelponnya?Keduanya, selama enam tahun, mengenyam suka dan duka bersama di Gontor. Persahabatan itu cukup berkesan, baik bagi Roem maupun Abdul Salam. Selepas dari Gontor, mereka memang sama-sama di IAIN Ciputat, tetapi hanya sebentar, karena Roem memperoleh beasiswa ke Universitas Islam Madinah, Arab Saudi.
Dia juga mengatakan kemajuan itu melahirkan pro-kontra. Berikut ini penuturan HM Roem Rowi kepada Tokoh Indonesia tentang Syaykh AS Panji Gumilang dan Al-Zaytun, dan hal-hal aktual lainnya.
MTI: Bagaimana perkenalan dan sejauh mana pengenalan Anda dengan Syaykh Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang?
MRR: Enam tahun di Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, dan sewaktu sama-sama kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta. Tetapi, saya kenal beliau sebagai pemimpin Al-Zaytun, belum lama. Sewaktu ada peresmian oleh Pak Habibie, di Indramayu saya menghadiri seminar satu malam. Saya ditelepon sehari sebelumnya, tetapi yang menelepon tidak memberitahu namanya. Waktu itu, saya diminta datang dengan Kereta Api Anggrek.
Dan tahun berikutnya, ketika saya memimpin para ulama Jawa Timur ke Bandung, ada Rakorda MUI se-Jawa. Di Bandung kami diundang makan siang oleh Gubernur Nuriana, di rumah dinasnya. Semua makanannya khas dari Al-Zaytun. Dua putra Syaykh datang, saat itulah kedua putranya saya tanya. Bapak kalian apakah yang dulu di Gontor, namanya Abdussalam Rasyidi? Ternyata mereka mengangguk. Maka sejak jamuan di kediaman gubernur itulah saya yakin beliau itu teman saya sewaktu di Gontor.
Kala itu, saya dengar memang ada yang memperdebatkan kehadiran Al-Zaytun yang spektakuler. Juga ada orang tak sependapat dengan cara berpikir Syaykh yang demikian maju. Perihal kemajauan itu, biasanya, ada yang senang dan ada yang tidak senang.
Dalam pepatah Arab, musibah bagi satu kaum, ada manfaatnya buat kaum yang lain, begitu juga sebaliknya. Kemajuan Al-Zaytun meroket sedemikian rupa dalam waktu yang sangat singkat, jadi tak mustahil ada pro dan kontra. Bahkan sampai ada yang menulis hal-hal negatif tentang Al-Zaytun yang bisa saja tulisanya berangkat dari rasa tidak senang atau motivasi lain yang tidak kita tahu.
MTI: Bagaimana Anda sendiri melihat kehadiran Al-Zaytun?
MRR:
Saya melihatnya sangat positif. Menurut saya itu aset umat Islam dan bangsa Indonesia yang perlu dijaga. Saya malah pernah mengatakan kepada Syaykh secara berkelakar: “Kalau Dewi Sandra diundang, saya mengusulkan MUI juga diundang ke sini supaya informasinya jangan simpang siur.” Tentang berbagai tulisan miring, anggap saja sama dengan promosi. Saya setuju jika Syaykh menjawab berbagai tudingan negatif kepadanya dengan bekerja keras. Mereka sudah menunjukkan kerja kerasnya, inilah realita untuk umat. Jadi bagi saya, itu luar biasa. Soal undangan untuk MUI, Syaykh menjawab, “Anda sudah mewakili MUI.” Saya jawab: “Tetapi saya hanya MUI Jawa Timur, artis saja kita undang, masa MUI tidak.”
MTI: Apa Anda melihat ada perbedaan?
MRR:
Banyak. Manajemennya luar biasa. Cara mereka menerima tamu. Semua tamu tidak ada yang merasa tidak diperhatikan. Semuanya sudah ditugaskan seperti itu. Kemudian soal kemandirian. Al-Zaytun tidak pernah memakai anggaran negara.
Satu lagi, soal pengembangan budaya toleransi dan perdamaian. Budaya perdamaian, dihujat orang santai saja. Saya paling kaget dan kagum, ketika saya menghadiri peresmian Universitas Al-Zaytun, ada gedung yang peletakan batu pertamanya dilakukan oleh seorang pendeta. Menurut saya ini sangat luar biasa. Jadi, toleransinya sampai ke dalam pembangunan kampus. Hal seperti ini belum pernah terjadi di mana pun juga.
Jadi artinya, Syaykh tidak hanya menciptakan semboyan kosong tetapi benar-benar diaplikasikan. Dimulai dari diri sendiri, dan beliau juga menyarankan mulailah dari dirimu sendiri. Kemudian disebarkan ke seluruh eksponen dan orang-orang lain.
Kemudian soal infrastruktur. Mantan Menteri Kehutanan Muslimin Nasution, mengatakan Al-Zaytun itu hebat. Kurangnya hanya satu: tidak bisa ditiru. Kalau mengejar dia, kita selalu ketinggalan. Kita kejar satu kilometer, dia sudah lari 100 kilometer. Jadi gerakannya tidak ada duanya. Ada seorang ibu pengusaha restoran, saya ajak ke sana. Dia bilang Massa Allah, langsung menyumbang Rp 15 juta. Untuk ukuran pribadi, apalagi belum saling kenal, itu jumlah yang luar biasa.
MTI: Ada forum ulama yang acapkali menyerang Al-Zaytun?
MRR:
Oh, itu namanya Forum Ulama Islam Indonesia (FUII). Mereka punya organisasi tersendiri. Dia itu teman saya sewaktu di Mesir (tapi lupa namanya), selalu punya pemikiran yang fundamentalis. Ketika di Mesir, dia dikenal sebagai jago pimpong. Saya kaget ketika dia jadi kiai. FUII itulah yang menvonis mati tokoh JIL.
MTI: Pandangan Anda tentang Negara Islam Indonesia?
MRR:
Kalau itu saya tidak tahu. Negara Islam Indonesia itu dicetuskan oleh RM Kartosoewiryo. Ketika gerakan itu lahir, saya masih kecil, belum mengerti. Sementara Syaykh Abdussalam Rasydi Panji Gumilang itu seangkatan saya. Jadi saya pikir, Syaykh Al-Zaytun tak mungkin demikian. Jadi waktu pergerakan itu ada, kami belum mengerti. Sementara, saya melihat, seperti saya kemukakan terdahulu, Syaykh mengimplementasikan toleransi dan perdamaian secara nyata, tidak hanya slogan atau semboyan.
Soal pemikiran, menurut saya, merupakan hal wajar dalam dunia demokrasi. Dulu Gus Dur berusaha mencabut TAP MPRS yang melarang komunis, kemudian mempersilakan kembalinya komunis. Kalau Islam, mengapa tidak. Tapi asal dengan cara-cara yang demokratis, tidak dengan cara kekerasan. Jadi sangat aneh kalau di luar negeri mengatakan Indonesia akan menjadi Negara Islam. Menurut saya itu tidak aneh dalam dunia demokrasi, yang penting rakyat memang menghendakinya berdasarkan kesepakatan demokratis.
MTI: Bagaimana tentang pribadi Syaykh Abdussalam Panji Gumilang?
MRR:
Panji Gumilang teman baik saya sejak sama-sama sekolah dan hingga sekarang. Saya salut sama beliau yang punya komitemen yang kuat untuk membangun di bidang pendidikan. Al-Zaytun merupakan sebuah pusat pendidikan yang terpadu dan modern yang bermoto sebagai Pusat Pendidikan dan Pengembangan Budaya Toleransi dan Perdamaian. Saya bangga pada beliau. Komitmen dan perjuangannya luar biasa. Untuk membangun sebuah kompleks seperti di Al-Zaytun saya kira tidak mudah. Saya yang sudah berpuluh-puluh tahun mendirikan sebuah yayasan pendidikan di Jawa Timur ini belum bisa membangun seperti itu.
Kami terus terang saja tidak bisa mengikuti langkah beliau yang begitu gigih, termasuk bagaimana mengelola dan mendapatkan dana untuk pembangunan. Saya kira dalam hal ini, kita harus banyak belajar dari beliau. Tidak ada salahnya kita bertukar pikiran dan ide. Bila di Al-Zaytun ada keunggulan dan kelebihan, kami rasa tentu perlu belajar banyak dari sana. Bahkan, saya kira, dalam hal ini, universitas-universitas yang ada di Jawa Timur juga harus bisa saling mengisi. ITS, Universitas Airlangga, misalnya tidak usah segan-segan untuk menimba apa yang ada di sana, begitu juga sebaliknya dengan Al-Zaytun.
Yang tak bisa disangkal, dalam umurnya yang baru sekian tahun, perkembangannya cukup pesat. Bahkan tahun ini mereka sudah bisa mendirikan sebuah Universitas Al-Zaytun, dengan sarana dan fasilitas yang dimilikinya. Sebuah prestasi yang patut dibanggakan. Pembangunan di bidang pendidikan sangat penting artinya. Karena di sinilah kita bisa mulai menanamkan akidah dan akhlak bagi generasi kita ke depan.
Dan apa yang diperbuat oleh Panji Gumilang dengan para eksponennya di Al-Zaytun patut kiranya kita contoh. Mengembangkan sebuah lembaga pendidikan yang hanya dalam waktu singkat dengan sarana dan prasarana yang ada sekarang ini tentunya merupakan perjuangan yang berat. Tapi di Al-Zaytun rasanya kok mudah sekali. Rasanya yang masih sulit kita lakukan yaitu memotivasi orang untuk menyumbang dan berdarma. Meskipun saya sudah lama berkecimpung di dunia pendidikan, ini rasanya masih susah kami lakukan.
Kita harus mengucapkan terima kasih dan bangga dengan apa yang telah dilakukan oleh Panji Gumilang dan kawan-kawan di Al-Zaytun, sebab itu merupakan lembaga pendidikan masa depan yang modern. Untuk mewujudkan seperti itu tentu membutuhkan waktu yang lama. Kami kagum, mereka begitu mudah menggairahkan orang untuk ikut membangun Ma’had yang megah, lengkap dengan sarana dan prasarana penunjangnya. Sehingga di sana teori dan praktik dilaksanakan secara terpadu. ► (Kutipan dari Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home