Tuesday, May 01, 2007

Al-Zaytun Ubah Image Negatif Amerika terhadap Islam

Wawancara dengan Sunandar Ibnu Nur,
Executive Editor, Gontor Magazine, Indonesia.

Sudah berapa kali Anda berkunjung ke Al-Zaytun?
Sudah empat kali. Pertama kali datang saat peresmian kampus ini oleh presiden BJ. Habibie, 27 Agustus 1999. Ia datang sebagai wartawan ANTV. Acara dilaksanakan Jum’at, tetapi saya datang hari Kamis dan malamnya wawancara ekslusif dengan Syaykh Al-Zaytun dan paginya saat perasmian saya menanyakan tentang konsep pendidikan yang dikembangkan Al-Zaytun. Syaykh memiliki pandangan yang luas tentang generasi-generasi muslim yang unggulan, baik fisik maupun mental spiritual. Kunjungan kedua saat digelar Pospenas tahun 2001, sejak pembukaan sampai penutupan. Karenanya saya dapat menjawab masyarakat tentang berbagai isu yang menghangat ketika itu, karena saya dapat menyaksikan sendiri. Sebagai alumni Gontor, saya bangga dengan konsep-konsep Syaykh Al-Zaytun karena yang ada di Gontor diambil dan ditambah lebih baik lagi. Tugas saya ketika itu hanya membuat dokumentasi dari Departemen Agama pusat. Ketiga kalinya, aya ke Al-Zaytun, ketika perasmian menara Masjid Rahmatan Lil Alamin, dengan rombongan Jusuf Kalla. Ketika itu pak Abdurrahman Partosentono masi ada dan ia dosen saya di UIN Jakarta.

Apa motivasi kunjungan ini, sehingga Anda sampai empat kali datang ke Al-Zaytun?
Saya, dalam berbagai kesempatan dialog, baik langsung maupun melalui e-mail, diminta oleh East West Center (EWC) untuk mencarikan tempat kunjungan pesantren. Mereka anggota EWC tahu tentang pesantren, tetapi tidak tahu persis seperti apa, di mana dan bagaimana situasi dan kondisinya. Saya merekomendasikan Al-Zaytun. Mereka ahnya mengenal pesantren Ngruki, karena terkait alumninya ada yang menjadi teroris. Mereka juga mengenal Gontor tetapi tidak mungkin untuk ke sana karena mereka mempunyai waktu yang sangat terbatas, maka Al-Zaytun menjadi pilihan yang bisa ditempuh karena hanya dengan empat jam dari Jakarta. Berdasarkan info itu, mereka ingin mengetahui banyak tentang Al-Zaytun. Saya menyampaikan sesuai yang saya ketahui tentang Al-Zaytun. Mereka sepakat, Al-Zaytun menjadi tempat kunjungan dalam dialog wartawan (jurnalis). Kami mengirim faksimile meminta untuk dijadikan kunjungan, dan alhamdulillah direspon positif. Al-Zaytun dipilih dari 13.000 pesantren yang ada di Indonesia untuk dijadikan objek kunjungan bagi mereka. Saya berharap, dari kunjungan ini mereka akan memperbaiki citra / image tentang pesantren di Indonesia di mata dunia khususnya Amerika. Karena yang saya tahu Richard Baker dan Miss Susan sebagai orang EWC, mungkin mereka sudah memiliki cara pandang yang moderat, tetapi bagi wartawan yang lain, mereka tidak tahu pesantren dan kalaupun tahu dalam pandangan mereka pesantren identik dengan teroris dan memang opini yang beredar di Amerika bahwa muslim itu teroris atau fundamentalis. Indonesia mayoritas muslim, dengan mereka datang ke sini, ada wacana dan wawasan baru, kemudian terjadi sebuah perubahan perspektif mereka tentang pesantren di Indonesia, yang kemudian justru Al-Zaytun menjadi jendela bagi isu positif tentang pesantren di Indonesia. Saya yakin betul akan ada sebuah perubahan persepsi mereka tentang pesantren di Indonesia.

Bisa diceritakan tentang seminar yang diadakan oleh EWC?
Satu pekan di Washington DC, sepekan di Atlanta dan sepekan di Los Angeles. Programnya simpel saja. Mereka memilih utusan dari negara-negara ASEAN, dari Pakistan untuk mengirim wartawan. Mereka meminta lewat kedutaan Amerika di Indonesia. Waktu itu saya sebagai Eksekutif Editor untuk majalah Gontor, selain sebagai presenter di TVRI. Acaranya adalah dialog antar wartawan, masing-masing peserta mempresentasikan tentang negaranya dalam bahasa Inggris. Kemudian mengadakan kunjungan ke sarana ibadah dan pesantren yang dibiayai oleh EWC. Peserta dapat akomodasi dan konsumsi selama pelaksanaan. Semoga ke depan ada jurnalis Al-Zaytun yang diundang untuk ikut menjadi peserta EWC. Masing-masing yang hadir ke Al-Zaytun ini memiliki media di negaranya dan mereka wartawan senior yang produktif dan berpengaruh di medianya. Mereka aka menulis apa yang mereka amati langsung di Al-Zaytun ini, tentu saja dengantokoh politik, tokoh muslim dan tokoh masyarakat. Sebelum kunjungan ke Al-Zaytun, kami telah berdialog dengan tokoh-tokoh Indonesia, seperti Gus Dur, Tifakul Sembiring (presiden PKS), dan Azyumardi Azra (Rektor UIN). Ternyata masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim tidak memiliki pandangan sempit, seperti yang mereka bayangkan atau yang seperti hari ini diopinikan masyarakat Amerika.
(Sumber : Majalah Al-Zaytun – Edisi 45/2006 – halaman 45)

Berita Terkait :

  • Wawancara dengan Richard W. Baker, Special Assistant to the President of East West Center (ECW).
  • Wawancara dengan Ms. Susan Kreifeis, Media Activities coordinator EWC.
  • Wawancara dengan Tim Connolly, Internasional Editor the Dallas Morning News, Dallas, Texas, Amerika Serikat.
  • Wawancara dengan David, Pengamat Hal Ikhwal ke Islaman dan Editor Harian Detroit, Michigan, Amerika Serikat.
  • Wawancara dengan Mr. Larry Johnson Foreign Desk Editor Seattle Post Intelligencer.
  • Wawancara dengan Wiliam J.Dobson Managing Editor, Foreign Policy Washington DC.
  • Wawancara dengan David Hage, Editor Writer Minneapolis Star Tribune.
  • Wawancara dengan Arif Suditomo, News Production Manager, RCTI Jakarta.
  • Wawancara dengan Sunandar Ibn Nur, Executive Editor, Gontor Magazine, Indonesia.
  • Wawancara Wartawan Amerika dengan Syaykh Al-Zaytun AS Panji Gumilang.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home