Amerika Belajar Toleransi dan Damai dari sini
Wawancara dengan David Hage,
Editor Writer Minneapolis Star Tribune
Editor Writer Minneapolis Star Tribune
Kami dengar bahwa EWC mengagendakan kunuungan ke berbagai tempat seperti tempat ibadah, museum, lembaga pendidikan dan lain-lain. Sebenarnya apa yang akan Anda angkat dari agenda atau kunjungan tersebut?
Gagasan dari perjalanan ini adalah untuk mempromosikan pemahaman antar bangsa Amerika dan bangsa Asia Pasifik. Khususnya untuk memperkenalkan kepada bangsa Amerika tentang orang Islam khususnya muslim bangsa Asia. Enam jurnalis Amerika bertemu dengan enam jurnalis Indonesia, Pakistan, Bangladesh dan Malaysia. Mereka mengadakan perjalanan ke Amerika dan kami bertemu di Hawai dalam dua hari. Mereka mengutarakan kesan tentang Amerika dan kami pun menyampaikan apa yang akan kami pelajari dari Indonesia. Mereka kembali ke Pakistan, Bangladesh. Kami datang kemari. Kami ke Jakarta selama empat hari. Kami bertemu dengan Menteri Pertahanan, bertemu dengan Gus Dur, dan beberapa Jurnalis. Poin yang akan saya bawakan nanti pulang adalah bahwa Indonesia itu nampak sama seperti Amerika.
Ketika Anda datang ke mari Anda seperti melihat Amerika, maksudnya apa?
Keduannya adalah negara yang besar dari Los Angeles ke New York, di sini dari Aceh ke Papua New Guinea, 3000 mil. Indonesia adalah negara yang beragam seperti : orang Sumatera, orang Jawa, orang Bali. Di Amerika pun adalah negara yang beragam, kita pun memiliki orang Amerika berbangsa Afrika, Amerika berbangsa Irish, Amerika berbangsa Italia, Amerika berbangsa Norwegia seperti saya. Itulah yang dikatakan negara yang beragam.
Siapakah yang memprakarsai EWC?
Saya tidak tahu yang lebih tahu adalah Mr. Richard W Baker. Ini adalah perjalanan pertama yang saya lakukan bersama mereka. Sya tidak paham, saya tidak tahu saiap yang memprakarsai pertama kali. Tapi ide ini adala untuk memberikan pemahaman antara Amerika dan Asia. Amerika adalah negara yang beragam dan begitu pula Indonesia, dan saya menghormati dan mengagumi bahwa Indonesia itu toleran, saling memahami, hidup bersama-sama, dan saya pikir kami (Amerika) dapa belajar dari Anda tentang toleransi dan hidup bersama.
Dari pidato tadi teman Anda mengatakan bahwa EWC akan mengadakan persahabatan antara Amerika dan Indonesia terutama Al-Zaytun. Usaha apa yang akan anda lakukan?
Saya akan menulis pengalaman kami di sini. Saya pikir bahwa saya akan menulis dua poin dalam koran. Pertama, karena orang Amerika itu pada umumnya tidak menghiraukan Islam. Mereka pikir Islam itu adalah Arab, dan mereka pun akan mengabaikan dengan orang Islam Indonesia, Malaysia, Pakistan. Maka itu kami ingin menyampaikan pada dunia tentang Islam. Kedua, adalah bangsa Indonesia memiliki suatu kesetiaan yang besar dan juga memiliki rasa toleransi yang besar dan itulah yang akan saya sampaikan pada pembaca bahwa bangsa Indonesia yang kami temuai adalah orang yang menyampaikan pesan perdamaian dan kemanusiaan yang tidak ditemukan di Amerika tentang Islam. Inilah pesan-pesan yang akan saya sampaikan, dan diharapkan ada persahabatan antara Amerika dengan Indonesia. Di Amerika beberapa orang memiliki satu pemikiran yang jahat atau pemikiran yang menuju pada suatu kekerasan, tapi dapa umumnya orang Amerika itu tidak menginginkan, dan saya yakin Indonesia juga sama. Karena itu akan membuat satu kerusakan pada dunia.
Al-Zaytun memiliki moto sebagai pusat toleransi dan perdamaian bagaimana menurut Anda?
Saya sangat mengagumi. Ketika orang Amerika datang ke Indonesia dia berpendapat bahwa Indonesia memiliki suatu kerumitan kemudian dia berpikir lagi kemudian dia temukan bahwa Indonesia adalah bangsa yang toleran, mengagumkan.
Apakah Anda mengetahui Al-Zaytun sebelumnya?
Tidak. Dan sayapun ptidak mengetahui adanya pesantren seperti ini. Yang saya ketahui adalah madrasah-madrasah.
Lalu siapakah yang memberitahukan Al-Zaytun kepada Anda?
Seorang bangsa Indonesia yang memperkenalkan Al-Zaytun melalui majalah yang saya pantau dan saya meyakininya. Majalah itulah yang merekomendasikan kami untuk datang ke Al-Zaytun.
Al-Zaytun memberikan pembelajaran jurnalistik pada tahun pertama SMP. Bagaimana menurut Anda?
Itu adalah suatu ide yang bagus. Satu, jurnalisme itu adalah suatu hal yang sangat penting. Jurnalisme yang bagus akan meberikan kontribusi pada nilai-nilai demokrasi yang tinggi, menuju pada masyarakat berpendidikan. Kedua, di Amerika itu pelatihan jurnalistik kurang bagus, kurang baik, malah dimanfaatkan untuk sekedar bisnis. Kami harus mencari bentuk pelatihan yang lebih baik.
Bagaimana pendapat Anda tentang Syaykh?
Saya pengagumnya, saya sangat terkesan dengan sekolah ini. Saya pikir sekolah Amerika harus belajar dari Syaykh, yang para pelajarnya terbiasa dengan kedisiplinan, sekolah yang terorganisasikan. Para pelajar membersihkan kamarnya, mereka bekerja keras, memperhatikan makanan higienis dan mengajarkan untuk menghormati alam. Sisitem ini sangat luar biasa. Saya harapkan Amerika bisa belajar dari sini.
(Sumber : Majalah Al-Zaytun – Edisi 45/2006 – halaman 42-43)
Berita Terkait :
- Wawancara dengan Richard W. Baker, Special Assistant to the President of East West Center (ECW).
- Wawancara dengan Ms. Susan Kreifeis, Media Activities coordinator EWC.
- Wawancara dengan Tim Connolly, Internasional Editor the Dallas Morning News, Dallas, Texas, Amerika Serikat.
- Wawancara dengan David, Pengamat Hal Ikhwal ke Islaman dan Editor Harian Detroit, Michigan, Amerika Serikat.
- Wawancara dengan Mr. Larry Johnson Foreign Desk Editor Seattle Post Intelligencer.
- Wawancara dengan Wiliam J.Dobson Managing Editor, Foreign Policy Washington DC.
- Wawancara dengan David Hage, Editor Writer Minneapolis Star Tribune.
- Wawancara dengan Arif Suditomo, News Production Manager, RCTI Jakarta.
- Wawancara dengan Sunandar Ibn Nur, Executive Editor, Gontor Magazine, Indonesia.
- Wawancara Wartawan Amerika dengan Syaykh Al-Zaytun AS Panji Gumilang.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home