Tuesday, May 01, 2007

Jurnalis Jangan hanya Berorientasi Market dan Trust

Wawancara dengan Arif Suditomo,
News Production Manager, RCTI Jakarta.


Bisa ceritakan tentang tujuan perjalanan EWC?
Saya almuni dari East West Center di Washington DC. Kita bicara banyak hal tentang globalisasi, tentang interaksi antara berbagai macam lapisan masyarakat dan berbagai macam agama dan tata sosial kehidupan di dunia. Apa yang menjadi tantangan kita selama ini dan bagaimana kita bisa membuat interaksi yang jauh lebih baik. Itu saja yang kita perbincangkan. Karena ini kita datang dari berbagai macam kalangan, agama dan juga kewarga-negaraan.

Jadi membicarakan tentang pluralisme?
Ya, pluralisme singkatnya.

Tapi melihat kenyataan, jurnalisme sekarang belum mampu bergaul secara plural? Kenyataaanya ada blok Barat dan ada blok Timur?
Saya melihat, saya tidak bisa menyalahkan editorial content berdasarkan blok Barat atau Timur. Bagaimanapun apa yang kita lakukan adalah untuk menghargai pasar masing-masing. Tidak mungkin dong CNN tiba-tiba menurunkan sebuah editorial issue yang pada akhirnya bertentangan dengan apa yang market mereka ingin dengan. Mereka akan tutup, gulung tikar. Jadi, saya melihat bagaimana kita mengolah kapitalnya saja. Kita juga sebagai pers Indonesia tidak mungkin menyajikan sesuatu yang publik kita tidak mau lihat, tidak mau dengar, atau tidak mau baca. Jadi, kembali kepada karakteristik market-nya masing-masing. Nah, iotu yang menjadi salah satu tantangan bagaimana kita ini sama-sama melakukan pendekatan terhadap market. Nah, ini maknanya butuh pucuk-pucuk orang yang mempunyai akses kepada publik, pembuat policy publik itu bisa ketemu, bisa ngobrol, bisa mengerti perbedaan untuk tidak saling mencaci atau membenci, tetapi mengerti perbedaan untuk bisa saling mengeri, yang pada akhirnya dia asma dengan kita so what? Itu yang menjadi main massage-nya kenapa pluralisme itu harus dikampanyekan.

Artinya kepentingan market lebih dominan?
Oh iya, itu pasti tetapi sekarang tantangannya adalah bagaimana kita juga tetap mengampanyekan kepentingan kita, melakukan market dan trust tetapi juga tidak berbenturan dengan kebutuhan pluralisme, itu kan tantangannya, seperti sekarang memang belum terjadi seperti kata Mas.

Peran jurnalistik terhadap pendidikan sendiri bagaimana menurut Mas Arif?
Tergantung. Itu tergantung semuanya kepada misi editorialnya masing-masing. Biasanya lembaga-lembaga swasta itu kan cari uang. Kita taidak menikmati uang APBN. Kalau misalnya ada kewajiban untuk melakukan pencerahan kita juga punya kewajiban untuk melakukan pencerahan, hanya saja porsinya. Lembaga penyiaran pemerintah harus mempunyai porsi yang lebih banyak dibanding lembaga penyiaran swasta, tetapi semuanya harus mempunyai kewajiban untuk melakukan pencerahan dalam hal pendidikan, dalam hal pluralisme, agama, moral, harus sama-sama ditegakkan. Nah, kalau di tempat saya bekerja, swasta. Kita terus melakukan apapun itu yang pada dasarnya mem-promote nilai-nilai di mana orang itu harus dididik dan dicerahkan. Tidak selalu lewat membuat kelas terbuka, tetapi ya dengan contoh, dengan kritik, dengan berita, dengan berbagai macam.

Apakah itu yang Anda maksudkan peranan jurnalistik dalam pendidikan?
Ya, peranan jurnalistik dalam pendidikan khususnya.

Mengapa ke pesantren dan tempat-tempat ibadah?
Karena pesantren seringkali menjadi sebuah institusi yang sering di salah-artikan. Dalam beberapa diskusi kami di Amerika waktu itu, muncul apa yang menjadi root atau akar terorisme? Kita menemukan bahwa ketidak-seimbangan distribusi kekayaan, mis understanding dan segala macam. Dan salah satunya adalah pesantren. Kalau kita tidak saling mengenal bagaimana kita bisa berkomunikasi dengan baik? Maka mereka mendekatkan diri untuk mencari seperti apa pesantren itu dan Indonesia bilang pesantren yang mana? Karena banyak pesantren di Indonesia, ya kita pilih beberapa, salah satunya Al-Zaytun ini. Basic ini yang ingin saya garis bawahi, selama ini pesantren merupakan institusi yang sering disalah-artikan, jadi kita ingin lihat sendiri apa kegiatannya? Apa yang dilaksanakan di sana, dan pada akhirnya mereka harus bisa mengerti, dan pada akhirnya mereka harus bisa menyimpulkan sesuatu dan bisa mengerti sesuatu.

Apa alasan Anda memilih Al-Zaytun?
Ya, ini adalah salah satu pesantren yang besar, kita kan harus melihat yang well faunded.

Anda sendiri setelah ke Al-Zaytun, dan setelah berbicara dengan Syaykh, apa kesan Anda?
Megah ya, besar, megah, satu kalimat too good too be true.

Tadi Syaykh Al-Zaytun juga mengungkapkan bahwa nanti di Al-Zaytun boleh saja orang Islam yang sekolah di sini, boleh juga orang Kristen dan penganut agama-agama lainnya, bagaimana?
Saya dukung sekali, bahwa ada sebuah pesantren yang opening up sama apa pun itu, itu merupakan salah astu kemajuan yang harus jadi contoh di saat kita sekarang sedang menghadapi banya seserongan yang suka memaksakan kehendak, kalau tidak sama dengan mereka hancurkan gedung, tidak sama dengan mereka bakar kedutaan orang, itu sebenarnya bukan hal yang kita ingin proyeksikan, khususnya terhadap Islam, kita tidak ingin itu. Nah, bagaimana caranya agar sedikit demi sedikit kita perangi itu bukan dengan kekuatan, tapi dengan pengertian. Ya pengertian adalah dengan membuka diri, menyambut orang lain dengan tangan terbuka, kemudian orang lain mengenal kita dengan ketulusan, tanpa ide, atau tanpa hidden agenda dan macam-macam, ya pada akhirnya it’s speak for slelf lah, kalau Al-Zaytun ini benar-benar terbuka, ada alumninya, ya mereka akan bicara ke mana-mana.

Tentang kurikulum Al-Zaytun, Al-Zaytun memulai pendidikan jurnalistik dari kelas 3 SMP, bagaimana menurut Anda?
3 SMP? Saya kira baguslah, pada dasarnya jurnalistik itu kan salah satu medium atau alat untuk bisa kita controling the forth state, kita menjadi forth state. Kalau pernah tahu forth state. Jadi kalau Montesque bilang ada the three state, Eksekutif, Yudikatif, sama legislatif. Nah, di dunia Modern ada the Forth State, apa forth state itu? Pres, free pres. Nah, kalau prinsip-prinsip free pres ini sudah dikenalkan sejak dini itu akan menanamkan banyak hal, keberanian, rasa kritis, ketulusan, fokus terhadap berbagai macam isu, dan pada akhirnya adalah sangat mulialah memperkenalkan nilai-nilai jurnalistik pada anak-anak.
(Sumber : Majalah Al-Zaytun – Edisi 45/2006 – halaman 43-44)

Berita Terkait :

  • Wawancara dengan Richard W. Baker, Special Assistant to the President of East West Center (ECW).
  • Wawancara dengan Ms. Susan Kreifeis, Media Activities coordinator EWC.
  • Wawancara dengan Tim Connolly, Internasional Editor the Dallas Morning News, Dallas, Texas, Amerika Serikat.
  • Wawancara dengan David, Pengamat Hal Ikhwal ke Islaman dan Editor Harian Detroit, Michigan, Amerika Serikat.
  • Wawancara dengan Mr. Larry Johnson Foreign Desk Editor Seattle Post Intelligencer.
  • Wawancara dengan Wiliam J.Dobson Managing Editor, Foreign Policy Washington DC.
  • Wawancara dengan David Hage, Editor Writer Minneapolis Star Tribune.
  • Wawancara dengan Arif Suditomo, News Production Manager, RCTI Jakarta.
  • Wawancara dengan Sunandar Ibn Nur, Executive Editor, Gontor Magazine, Indonesia.
  • Wawancara Wartawan Amerika dengan Syaykh Al-Zaytun AS Panji Gumilang.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home