Sunday, July 20, 2008

Kebangkitan Nasional itu, Kebangkitan Pendidikan


Tokoh pendidikan terpadu Syaykh AI-Zaytun Dr AS Panji Gumilang mengatakan dalam rangka memeringati Satu Abad Hari Kebangkitan Nasional (20 Mei 1908-2008) semua elemen bangsa harus memberi solusi untuk mengatasi berbagai masalah yang tengah dihadapi bangsa ini.

Sudah seratus tahun, apa yang telah kita perbuat? Yang bisa menjawab, ya masing-masing," kata tokoh pendidikan bervisi demokrasi, toleransi dan perdamaian, ini dalam percakapan dengan Wartawan Berita Indonesia, 12 Mei 2008. Menurut pemangku pendidikan berbasis (semangat) pesantren tapi bersistern modern ini, sesungguhnya kebangkitan nasional itu adalah kebangkitan pendidikan. "Ayo kita tata pendidikan ini lebih baik dari hari ini. Nah, itu ciri bangkit, " kata pendiri dan pemimpin Ma'had AI-Zaytun ini.

Tokoh yang sangat enerjik ini juga mengungkapkan tentang politik bersepeda, dalam hubungannya dengan kepemimpinan dan kebangkitan nasional. "Sepeda itu harus dipegang oleh pengendaranya. Power-nya itu dari pemimpinnya (pengendara). Itu politik bersepeda. Kalau man mengendarai dan mengendalikan kekuatan dahsyat, sepeda itu dahsyat, maka dinamakan bicycle. Cycle, cycling yang terns bergerak (putaran)," katanya. Selain itu, dia juga menegaskan sikapnya: "Simbol saya demokrasi perdamaian tanpa senjata," katanya ikhlas dan berterimakasih tatkala dihadiahi rencong.

Berikut ini kami sajikan petikan wawan¬cara dengan tokoh yang sangat berkomit
men membangun Indonesia yang kuat, hidup dalam zona demokrasi dan perdamaian Berta mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia ini.

Syaykh banyak berbicara mengenai kebangkitan nasional. Kebangkitan nasional sudah seabad tapi rasanya keadaan bangsa ini masih begitu-begitu saja?
Makanya kita bertanya apa yang telah kita perbuat, itu saja. Sudah seratus tahun, apa yang telah kita perbuat? Yang bisa menjawab, ya masing-masing. Kalau masing-masing menjawab dengan perbuatan, baru kita bisa mengatakan bangsa ini bangkit.

Lalu kalau begitu masalahnya, siapa yang akan memberi solusi?
Oh, semua elemen bangsa harus memberi solusi. Kebangkitan nasional itu sesung¬guhnya kebangkitan pendidikan. Sebab, dulu tatkala kita masih menjadi bangsa Hindia Timur, ada politik etis kan? Terjadilah pendidikan. Dari situlah bangkit. Jadi kebangkitan nasional adalah kebang¬kitan pendidikan nasional. Jika ditanya siapa yang menbangkitkan ? Ya, memang pemerintah dulu.

Apa pesan Syaykh dalam rangka satu abad kebangkitan nasional?
Ayo kita tata pendidikan ini lebih baik dari hari ini. Nah, itu ciri bangkit. Mengapa sekarang kita masih mengalami "ABCD", seperti dikatakan orang belum mencapai sasaran? Pendidikannya belum sempurna. Dan berbahagialah orang yang merasa tidak bangkit-bangkit walaupun dirinya mempunyai kemajuan. Tapi celaka bagi orang yang masih belum bisa merangkak pun sudah mengatakan bangkit.

Sama seperti Indonesia sekarang?
Jangan disamakan. Siapa saja.

Kan sudah 100 tahun. Tapi nggak bangkit-bangkit tapi merasa bangkit?
Bahagia kita, artinya, masih merasa yang tidak bangkit ini. Ada kebahagiaan. Artinya, menurut orang itulah yang bangkit itu. Tapi kalau masih seperti belum bangkit namun mengatakan sudah bangkit, celaka ini. Contohnya, pintu gerbang pertama saja kebanjiran dua kali sebelum setahun. Jadi angkatan lautnya pindah ke darat. Jadi untuk memperbaiki nasib bangsa kita nanti, pendidikan harus ditata, pangan ditata, keamanan ditata.

Pemimpin sudah melakukan apa yang dilakukannya. Tapi warga juga kan harus bergerak. Syaykh melihat bagaimana pergerakan masyarakat ini untuk bangkit atas inisiatifnya sendiri?
Itulah yang harus dididikkan panjang. Seperti bangsa Belanda dulu mendidik bangsa Hindia Timur ini supaya bangkit dimodali 3 M (membaca, menulis, menghitung). Nggak banyak itu modalnya. Membaca, setelah kamu bisa membaca ABCD, bacalah Indonesiamu ini. Setelah itu, menulis. Tulislah apa yang ada ini, baru kalkulasikan (menghitung) apa yang ada ini. Tiga modal An saja bisa membangkitkan Soekarno-Hatta berproklamasi, bisa membangkitkan segala macam. Sekarang harusnya bisa membangkitkan yang lain lagi dengan 3M tadi.

Selain pendidikan tadi, supaya kita bergerak bangkit lebih baik, apa yang lainnya?
Iya itu, start-nya dari situ (pendidikan). Sehingga nanti karena membaca, menulis dan menghitung, ini koq lambat, oh kurang asupan. Asupannya diperbanyak. Tapi memang ada satu tanda yang sekonyong-konyong bisa tedadi di Indonesia belakangan ini. Sebelum ada pengu¬muman beras naik, Indonesia kan masih mengimpor. Waktu beras masih US$ 400, mengimpor kekurangan sekian. Apalagi akibat banjir, panen kurang. Tapi, begitu beras dinyatakan US$ 700 sampai US$ loon lebih, tiba-tiba kita surplus. Kok bisa secepat itu? Terns langsung man mengekspor. Nah, ini suatu bukti, bahwa tidak memiliki kesiapan. Murah mengimpor, mahal mengekspor, sambil sekonyong-konyong data itu dari minus menjadi surplus.

Jadi bagaimana kalau kita dimenej orang seperti itu?
Ya diubah. Masyarakat bangsa ini merubah.

Tapi maunya, Syaykh menjadi pemimpin nasional?
Tidak seperti begitu merubah itu. Proses masyarakat bangsa Indonesia inilah yang akan menentukan perubahan itu.

Tapi kan perlu akselerasi?
Akselarasi dan tidak akselerasi itu juga sebuah proses. Belum tentu akselerasi itu bisa mempercepat. Satu bukti, sepuluh tahun yang dinamakan reformasi. Orang¬-orang masih bertanya apa hasil reformasi. Nah ini juga begitu. Maka proses ini harus berjalan terus. Harus diubah terus. Yang merubah itu bukan seketika berproses. Nah kita sudah memiliki sarana perubahan itu yakni demokrasi. Harus disadarkan bangsa ini.

Tapi kan pemimpinnya yang memegang peranan strategis?
Ya. Nanti kalau diganti juga berubah lagi. Sama halnya tatkala UUD 1945, itu kan susahnya setengah mati untuk dirubah waktu itu. Begitu dirubah, lima kali sekaligus. Itulah proses bangsa seperti itu.

Proses konstitusional yang teler itu?
Itu kan yang terjadi di Indonesia. Satu lagi, betapa satu dekrit atau statement bahwa dwifungsi ABRI mutlak. Namun lepas begitu saja. Betapa kuatnya Pak Harto yang didukung sampai segala sesuatu adalah berdasarkan petunjuk bapak presiden. Tapi kan dia yang merubah. Itulah proses masyarakat bangsa Indonesia.

Ini susahnya, bagaimana kalau nggak ada komitmen yang dipegang?
Tidak susah. Artinya, ada perubahan itu. Segala perubahan demi perubahan tidak sekaligus menjadi yang kita harapkan. Siapa tahu dalam perubahan berikutnya.

Ya, tapi perlu juga konsistensi dalam memandang sesuatu sehingga bangsa itu dapat dibawa dalam satu tujuan yang dari awal dipersiapkan. Tapi kalau tidak konsisten dan berhenti-berhenti, bagaimana pembentukan bangsanya?
Ini tidak berhenti, proses berubah.

Walaupun lama ya?
Lama itu tidak ukuran. Dan cepat pun tidak ukuran.

Tapi itulah arti pemimpin. Pemim¬pin yang menjadi pusat, pemegang kendali strategis?
Oh ya! Bangsa Indonesia 50 Tahun, hanya dipimpin dua presiden. Tapi sepuluh tahun lima presiden. Normal-normal saja, kan.

Teler itu?.
Ya lepaskan, apa bahasanya itu. Itu kan masing-masing punya bahasa yang bisa untuk mengalamatkan.

Ada yang tanya, seorang jurnalis, dia tahu kalau kami sering ke Al Zaytun. Syaykh kabarnya man disandingkan dengan Wiranto, katanya begitu. Baru kami dengar. Benar tidak?
Oleh siapa, tanya dong. Cari dulu, tanya siapa yang akan menyandingkan.

Itulah yang dia dengar informasinya. Bagi wartawan, suatu kecenderungan adalah fakta. Ada kecenderungan ke situ kali?
Tanya kepada yang menginformasikan. Kan sudah saya katakan tadi. Kalau ada apa-apa di Al-Zaytun kan bukan siapa-siapa yang tahu duluan, wartawan Berita Indonesia yang tahu duluan. Wartawan Zaytun belum tentu tahu duluan.

Tapi, baik juga kali itu?
Menurut siapa?

Paling tidak menurut kami !.
Terserahlah. Kalau ada pandangan me¬nurut saya baik, jangan pernah ditutup pandangan orang lain.

Kami senang mendengar berita itu.
Sedih pun tidak apa-apa.

Walaupun dia hanya sekadar bertanya, niatnya untuk menyelidiki pun terserah, tapi bertanya saja menurut saya sesuatu hal yang baik. Tapi, kalau itu diusulkan oleh banyak orang, bagaimana Syaykh menyingkapi?
Itu kalau. Kalau tidak, bagaimana? Kalau saja ditanggapi.

Kembali ke kebangkitan. Tadi Syaykh bilang pendidikan sebagai motor penggerak, dan Al-Zaytun sedang memulainya, dalam delapan tahun ini sudah bergerak. Kebangkitan Indonesia seperti apa yang diimpikan di lembaga. pendidikan Al-Zaytun?
Kita punyai nilai-nilai dasar negara. Yang oleh banyak orang dikatakan Pancasila. Nilainya apa? Ya pendidikan itu sifatnya rohaniah dan jasmaniah, pembangunan fisik. Mewujudkan suatu kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Ini cita-citanya kebangkitan nasional itu. Yang lain-lain sudahlah tidak menjadi masalah. Pokoknya yang penting terakhir, mewujudkan kesejahteraan sosial.

Terus langkah-langkah itu harus dikonkritkan?
Oh iya tentu. Tapi kan ide besarnya itu. Bukan lagi sekadar menghafal Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan/Perwakilan, Persatuan Indonesia, tapi lebih lagi wujudkan Kesejahteraan Social untuk Seluruh Rakyat Indonesia. Kita sudah harus bersatu untuk menata itu semua. Mulai dari pendidikan, kemudian pem¬bangunan fisik dan pembangunan non¬fisik. Dan semua melibatkan bangsa. Dan semua berbasis lokal, sehingga Bhineka Tungal Ika terwujud.
Kemudian ke depan, menggaris-bawahi negara persatuan ini, Persatuan Indonesia. Kemudian memandang kembali, sudah betulkah otonomi ini. Otonomi sama dengan merdeka. Satu sisi tidak pernah mengenal satu kebebasan daerah dengan bahasa sentralisasi. Satu sisi memberikan kebebasan seluas-luasnya dengan bahasa otonomi. Antagonistic, paradoks. Maka yang diwujudkan nanti desentralisasi seluas-luasnya. Baru terciptalah nanti perwujudan suatu kese¬jahteraan bagi seluruh masyarakat Indo¬nesia. Kalau desentralisasi, seluruhnya menerima. Tapi kalau federasi ada mung¬kin yang tidak menerima. Begitu pula serikat mungkin ada yang tidak menerima. Desentralisasi, karena itu suatu ide besar dari awal, semua bisa terima. Tapi otonomi sangat bahaya. Otomomi itu merdeka.

Desentralisasi dalam rangka persatuan ya?
Iya, dalam rangka persatuan. Persatuan saja. Dan tidak melanggar nilai-nilai dasar negara.

Kalau dikaitkan dengan proses demokratisasi yang sedang bertumbuh?
Ya bagus.

Dengan tuntutan otonomi?
Otonomi seperti apa? Desentralisasi. Mana ada boleh otonomi. Desentralisasi seluas-luasnya.

Yang Sekarang terjadi, ada tuntutan otonomi.
Itulah karena memang dibukakan keran otonomi. Bertentangan dengan ide besar. Tadi kan kita katakan, otonomi itu berbahaya.

Filosofinya persatuan?
Persatuan. Persatuan itu bisa diwujudkan desentralisasi, daerah-daerah memiliki kekuatan masing-masing, berbagai macam. Tetapi dalam persatuan Indonesia.

Kan begitu nilai-nilai dasarnya? Mengapa melenceng jauh?
Kita membela sebuah nama yang tidak pernah dicatat pada UUD. Di Preambule itu, nilai-nilai dasar itu tidak pernah disebut dengan singkatan Pancasila. Ketuhanan yang maka esa disebut. Kemanusian yang adil dan beradab. Dasar begitu saja. Sekarang dicetuskan, Pancasilanya dike¬depankan seakan-akan itulah jiwa. Tapi substansinya dilupakan banyak orang. Ayo sebutkan satu-satu, nggak tau. Sama sekali dalam Preambule itu tidak disebutkan bahasa itu. Mengapa yang itu yang jadi merakyat dan populer? Bukan lima dasar itu.

Jadi nilai-nilainya yang terpenting?
Mustinya nilai-nilai dasar. Jadi kok tidak pernah disebut. Mengapa kok jadi sebutan yang sangat sakral.

Mencari aman saja kali?
Ya, iyalah. Tapi mestinya fair dong. Kalau tidak disebut mestinya jangan marah. Undang-undang dasar saja nggak menyebut.

Kalau tidak disebut pun, tapi nilai-nilainya dijalankan?
Ya, iyalah nilai-nilainya dijalankan. Demokrasi pakai diembel-embeli Demokrasi Pancasila. Sudah dalam UUD dasarnya tidak ada, kalau mau masuk dan ubah itu preambule, kan tidak boleh diubah toh?
Sudah tidak konsekuen lagi. Dulu Indonesia itu toleransinya tinggi, kalau duduk satu meja begini, Bukan ini dari Bangladesh, Myanmar, Kamboja , Ini apa, itu apa, tidak! Itu menunjukkan bahwa Indonesia dulu itu terbuka.

Pasca itu jadi tertutup. Bencinya pada bangsa asing luar biasa, keluar nasionalisme, tidak terbuka, sementara yang nasiona¬lisme pun disuruh menghafal, juga enggak hafal. Kemarin kita ke Aceh. Saya tidak membayangkan bahwa belakangan ini rakyat Aceh yang terkesan GAM, anak umur belasan tahun setingkat SMP, dengan mudah menghapal Pancasila. Asumsi kita, ya sudahlah tidak ada yang diajarkan Pancasila. Ternyata? Luar biasa anak-anak itu. Lagu-lagu wajib kita pancing sedikit saja, wow, mereka itu langsung me¬nyanyikan dengan lancar. Ditanya, Pancasila itu. apa? Anak-anak itu jawab tangkas, dasar negara Indonesia. Apa itu Pancasila? Lima dasar. Apa itu lima dasar, anak-anak itu lancar menjawab.

Betapa hebatnya orang Aceh. Lalu, me¬ngapa sampai terjadi clash. Mengapa kita sampai curigai. Belum tentu anak-anak di Pulau Jawa itu seperti ini. Di mana salahnya. Sampai clash itu? Saya dialog dengan Gubernur dan Wakil Gubernur. Yang tadinya tinggi nadanya, kita redamkan dengan cara yang baik. Ternyata di lubuk hatinya tidak mau mi¬sah dengan Indonesia. Kita gali secara perlahan-lahan.

Jadi kalau melihat kondisi Seka¬rang. Ini kan memasuki tahun po¬litik. Politik yang kita tandai dengan mulai aktifnya para partai politik kampanye, mulai bulan Juli, sam¬pai sekian lama. Sangat lama. Tentu dalam politik yang diharapkan, pada waktunya akan tiba kekuasaan akan dipegang oleh orang tertentu yang dipilih secara demokratis dalam proses politik. Tapi tidak berhenti di situ, proses ini adalah untuk mencapai bagaimana Indo¬nesia mengisi kemerdekaannya atau membangun dirinya. Tentu ada harapan yang akan dicapai. Kalau melihat proses ini, menurut Syaykh, ada nggak harapan dan seperti apa yang bisa kita capai dalam 5 tahun ke depan?
Kita dengar dulu dong apa yang ditawarkan.

Kalau Syaykh menawarkan?
Sepeda, menggelinding terus.

Apa hubungannya dengan masa depan bangsa?
Ya, sepeda itu kan dipegang oleh pengendaranya. Power-nya itu dari pemimpinnya. Ito politik bersepeda. Ini yang mengendalikan. Saat naik, ikut naik. Saat turun, ikut turun. Maka kebangkitan nasional diisi dengan bersepeda 2000 km. Sekarang kan yang duduk di atas mobil, yang capek mobilnya. Yang merasakan turun juga mobil, bukan kita. Bagaimana rasanya turun dari yang tinggi, pakai mobil kan tak terasa. Bagaimana panas, tak terasa. Bagaimana hujan, tidak terasa. Bagaimana itu namanya BBM kaki. Menggenjot tatkala tanjakan yang 45 derajat. Bagaimana mengendalikan tatkala kita turun tanpa ada halangan. Stabil. Maka diajak bersepeda begini lo, kalau mau mengendarai dan mengendalikan kekuatan dahsyat, sepeda itu dahsyat, maka dinamakan bicycle. Cycle, cycling yang terus bergerak (putaran).

Bisa lebih diterjemahkan dalam aplikasi politik kenegaraan?
Sudah, yang tadi itu. Jangan diterjemahkan panjang-panjang. Bila menerjemahkan panjang-panjang itu namanya tajuk rencana. Ini pojok saja dulu.

Perlu diberi pemahaman, sosialisasi, filosofi bersepeda dalam rangka membangun negara?
Itu nanti. Sebelum apa-apa, dibaca orang sebagai kampanye. Cita-cita saja. Nanti bersamaan dengan filosofi bersepeda memang begitu. Terus berputar dan ada dua roda belakang dan depan.

Ada maknanya itu?
Lha iya, ada pimpinan dan ada yang dipimpin. Terus ada rem.
Pemimpin semua yang mengendalikan. Mau cepat, mau lambat. Tapi kalau pemimpin sedang teler? Teler dilarang naik sepeda. Dan nggak jalan sepeda.

Kalo gagah-gagahan?
Mana bisa gagah-gagahan, orang mengeluarkan nafas, mengeluarkan energi.

Oh iya, ia akan tumbang sendiri kali ya?
Nggak ada gagah-gagahan, gagah yang ada. Itu kan bukan gagah betulan kalau gagah-gagahan.

Tapi ada pemimpin yang bilang, mereka nggak tabu saya siang¬malam Sudah bekerja, masih begini orang ngomong?
Biasa. Harus dihormati orang bekerja itu.

Berarti dia tidak menganut filosofi naik sepeda?
Iya, dia kan naik mobil. Rodanya juga empat kan? Ini rodanya cuma dua. Harus digenjot dengan nyali dan energi (BBM kaki) agar terus berputar.

Sumber : Majalah Berita Indonesia Edisi 57 - 2008

2 Comments:

At 9:52 PM, Blogger andreas iswinarto said...

Jejak Langkah Sebuah Bangsa, Sebuah Nation

Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya,
kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya.
Kalau dia tak mengenal sejarahnya.
Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya,”

-Minke, dalam Novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer-
Dikutip Kompas di tulisan pembuka liputan khusus Anjer-Panarukan

Saya memberikan apresiasi yang besar kepada Koran Kompas dan juga kalangan pers pada umumnya yang secara intens dan kental mendorong munculnya kesadaran historis sekaligus harapan dan optimisme akan masa depan Indonesia. Mempertautkan makna masa lalu, masa kini dan masa depan. Ini nampak paling tidak sejak bulan Mei secara rutin Kompas memuat tulisan wartawan-wartawan seniornya dan mungkin beberapa orang non wartawan kompas bertajuk 100 Tahun Kebangkitan Nasional . Patut diapresiasi pula liputan besar Kompas “Ekspedisi 200 Tahun Jalan Pos Anjer-Panaroekan”.

Daniel Dhakidae yang juga menjadi salah satu penulis seri 100 Tahun Kebangkitan Nasional Kompas ini pernah mengatakan bahwa “sejarah bukan masa lalu akan tetapi juga masa depan dengan menggenggam kuat kekinian sambil memperoyeksikan dirinya ke masa lalu. Warisan tentu saja menjadi penting terutama warisan yang menentukan relevansi kekinian. Apa yang dibuat disini adalah melepaskan penjajahan masa kini terhdap masa lalu dan memeriksa kembali masa lalu dan dengan demikian membuka suatu kemungkinan menghadirkan masa lalu dan masa depan dalam kekinian”. (Cendekiawan dan Kekuasaan : Dalam Negara Orde Baru; Gramedia Pustaka Utama, 2003, hal xxxii)

Dalam bukunya itu contoh gamblang diperlihatkan oleh Dhakidae, dimana sebelum sampai pada bahasan masa Orde Baru ia melakukan pemeriksaaan wacana politik etis sebagai resultante pertarungan modal, kekuasaan negara kolonial, dan pertarungan kebudayaan antara Inlander vs Nederlander, antara boemipoetra dan orang Olanda. Baginya zaman kolonial menjadi penting bukan semata sebagai latarbelakang, akan tetapi wacana itu begitu menentukan yang dalam arti tertentu bukan saja menjadi pertarungan masa lalu akan tetapi masa kini.

Kompas saya pikir telah mengerjakan ini dengan sangat baik dan saya mendapatkan pencerahan dari sana (o iya Bung Daniel adalah juga kepala litbang Kompas)

Untuk meningkatkan akses publik ke seluruh tulisan-tulisan berharga ini, saya menghimpun link seri artikel Kompas bertajuk 100 Tahun Kebangkitan Nasional ini. Sebelumnya saya juga telah menghimpun link seri liputan Kompas Ekspedisi 200 Tahun Jalan Raya Pos Anjer-Panaroekan : Jalan (untuk) Perubahan.

Demikian juga saya telah menghimpun link-link ke artikel-artikel Edisi Khusus Kemerdekaan Majalah Tempo tentang Tan Malaka “BAPAK REPUBLIK YANG DILUPAKAN. Sebagai catatan tulisan tentang Tan Malaka juga ada di dalam seri tulisan Kompas seputar 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Apresiasi tinggi pula untuk Majalah Tempo.

Akhir kata secara khusus saya menaruh hormat kepada Pramoedya Ananta Toer yang telah menjadi ‘guru sejarah’ saya melalui karya-karya sastra dan buku-buku sejarah yang ditulisnya. Saya pikir bukan sebuah kebetulan Kompas mengutip roman Jejak Langkah sebagai pengantar liputan khususnya, juga dari buku Pram Jalan Raya Pos, Jalan Daendels- “Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain”.

Tidak lain juga sebuah penghormatan kalau tidak pengakuan terhadap sumbangan Pram untuk negeri ini. Diakui atau tidak.

Salam Pembebasan
Andreas Iswinarto

Untuk seri tulisan 100 Tahun Kebangkitan Nasional
Kipling, Ratu Wilhelmina, dan Budi Utomo; Renaisans Asia Lahirkan Patriotisme Bangsa-bangsa; Semangat Kebangsaan yang Harus Terus Dipelihara; Menemukan Kembali Boedi Oetomo; Ideologi Harga Mati, Bukan Harta Mati; Pohon Rimbun di Tanah yang Makin Gembur; Mencari Jejak Pemikiran Hatta; Membangun Bangsa yang Humanis; Tan Malaka dan Kebangkitan Nasional; Kaum Cerdik Pandai, antara Ilmu dan "Ngelmu"; Masa Depan "Manusia Indonesia"-nya Mochtar Lubis, Menolak Kutukan Bangsa Kuli; Pendidikan dan Pemerdekaan; Kembali ke PR Gelombang Ketiga; Kebudayaan dan Kebangsaan; Musik Pun Menggugah Kebangsaan...

Silah link ke
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/jejak-langkah-sebuah-bangsa-sebuah.html

Ekspedisi Kompas 200 Tahun Anjer-Panaroekan
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/belajar-dari-sejarah-sebuah-jalan-200.html

Edisi Kemerdekaan Tempo dan 12 buku online : Tan Malaka
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/tan-malaka-bapak-republik-revolusi.html

 
At 2:57 PM, Anonymous lvldoom said...

thanks, saya butuh untuk tugas wawancara saya :) sekali lagi terima kasih.

wasalam
Improvisasi diri

 

Post a Comment

<< Home