Pusat Pembibitan Sapi Nasional
Sebuah lembaga pendidikan menghibahkan 18 kepala sapi pejantan unggul kepada pemerintah (negara), suatu berita menarik yang belum pernah terjadi di negeri ini.
Biasanya pemerintahlah yang meng¬hibahkan sesuatu kepada lembaga pendidikan. Oleh karena itu, Berita Indonesia berulang kali menanyakan apa latar belakang, penyebab atau yang mendorong sehingga Al-Zaytun menghibahkan puluhan sapi pejantan unggul itu kepada pemerintah. Dalam rangkaian percakapan dengan Syaykh Panji Gumilang terungkap pula obsesi Al-Zaytun menjadi pusat bibit sapi nasional, baik perah maupun sapi pedaging.
Berikut petikan wawancara Berita Indonesia dengan Syaykh Abdussalam Panji Gumilang, di Wisma Al-Islah, Senin, 12 Mei 2008.
Apakah karena Syaykh mendengar keluhan dari pemerintah atau lembaga-lembaga lain mengenai susahnya memperoleh sapi pejantan unggul?
Tidak usah mendengar keluhan barn hibah. Itu namanya manusia pelit. Ibu pertiwi ini sedang merintih sekarang ini, jangan terlalu lama merintih.
Sekarang nggak merintih lagi seharusnya?
Mestinya. Tapi kan sekarang sedang merintih. Minyak, baik itu minyak bakar, minyak goreng, maupun minyak pelumas, sudah dicari. Produk energi sudah mulai turun. Sesungguhnya, kita nggak usah lagi menggali minyak bumi.
Sapi Bangsa Baru: Sapi hasil crossing yang dilakukan oleh Al¬Zaytun terdiri dari 3 bangsa sapi yakni Limousin, PO dan Bali dinamakan LIMPOBAL, dalam usianya yang 2 tahun 9 bulan mempunyai bobot 480 kg.
Diamkan saja, bikin minyak hijau. Juga, tanam padi sebanyak-banyaknya. Toh manusia sekarang butuh beras. Dari sejak awal, food and agriculture memegang kendali kehidupan. Siapa punya pangan banyak, dia yang mampu me¬nguasai manusia banyak. Siapa yang punya energi cukup, dia akan menguasai politik dunia. Sekarang, ok, tutup semua itu penggali minyak. Sekarang kita pakai minyak hijau.
Minyak bio?
Jangan, kalau bio masih lama. Minyak goreng untuk menyalakan lampu tempel saja dulu. Itu cuma seratus hari.
Seratus hari pakai minyak goreng?
Ya, sehingga otak ini keluar semua. Yang cerdas-cerdas memikirkan seratus hari, tumbuh minyak yang hakiki. 0rang bertapa itu kan begitu.
Hanya butuh seratus hari bertapa bangsa ini sehingga bisa keluar dari krisis?
Biasanya pemerintahlah yang meng¬hibahkan sesuatu kepada lembaga pendidikan. Oleh karena itu, Berita Indonesia berulang kali menanyakan apa latar belakang, penyebab atau yang mendorong sehingga Al-Zaytun menghibahkan puluhan sapi pejantan unggul itu kepada pemerintah. Dalam rangkaian percakapan dengan Syaykh Panji Gumilang terungkap pula obsesi Al-Zaytun menjadi pusat bibit sapi nasional, baik perah maupun sapi pedaging.
Berikut petikan wawancara Berita Indonesia dengan Syaykh Abdussalam Panji Gumilang, di Wisma Al-Islah, Senin, 12 Mei 2008.
Apakah karena Syaykh mendengar keluhan dari pemerintah atau lembaga-lembaga lain mengenai susahnya memperoleh sapi pejantan unggul?
Tidak usah mendengar keluhan barn hibah. Itu namanya manusia pelit. Ibu pertiwi ini sedang merintih sekarang ini, jangan terlalu lama merintih.
Sekarang nggak merintih lagi seharusnya?
Mestinya. Tapi kan sekarang sedang merintih. Minyak, baik itu minyak bakar, minyak goreng, maupun minyak pelumas, sudah dicari. Produk energi sudah mulai turun. Sesungguhnya, kita nggak usah lagi menggali minyak bumi.
Sapi Bangsa Baru: Sapi hasil crossing yang dilakukan oleh Al¬Zaytun terdiri dari 3 bangsa sapi yakni Limousin, PO dan Bali dinamakan LIMPOBAL, dalam usianya yang 2 tahun 9 bulan mempunyai bobot 480 kg.
Diamkan saja, bikin minyak hijau. Juga, tanam padi sebanyak-banyaknya. Toh manusia sekarang butuh beras. Dari sejak awal, food and agriculture memegang kendali kehidupan. Siapa punya pangan banyak, dia yang mampu me¬nguasai manusia banyak. Siapa yang punya energi cukup, dia akan menguasai politik dunia. Sekarang, ok, tutup semua itu penggali minyak. Sekarang kita pakai minyak hijau.
Minyak bio?
Jangan, kalau bio masih lama. Minyak goreng untuk menyalakan lampu tempel saja dulu. Itu cuma seratus hari.
Seratus hari pakai minyak goreng?
Ya, sehingga otak ini keluar semua. Yang cerdas-cerdas memikirkan seratus hari, tumbuh minyak yang hakiki. 0rang bertapa itu kan begitu.
Hanya butuh seratus hari bertapa bangsa ini sehingga bisa keluar dari krisis?
Ya, seperti makan tempe kan? Tidak usah impor, bertapa dulu seratus hari. Tanam, kedelai. Sekarang Al-Zaytun sudah surplus kedelai. Bergs, tidak usah teriak-teriak. Jangan makan beras. Makan yang mengenyangkan dan sehat saja. Lalu seratus hari nanam, panen surplus.
Tapi itu memerlukan pe¬mimpin panutan dan berani?
Bagaimana pemimpin tidak panutan dan berani? Siapa saja bisa asal mau. Siapa pun bisa. Tapi ini memang belum mau. Pemimpin Indonesia ini Siapa pun bisa. Cuma memilih programnya.
Ada juga yang tidak berani mengambil program seperti itu?
Belum tentu tidak berani, mungkin tidak terpikirkan. Padahal bangsa ini pintar-pintar. Sejak 1800-an, bangsa Indonesia telah menanam kedelai. Juga sudah menanam padi. Sejak 1818, sapi sudah didatangkan ke Indonesia. Jadi, bangsa Indonesia semua bisa asal memilih program yang tepat. Ini kan belum tepat semua. Padahal pintar-pintar kok bangsa Indonesia ini.
Kembali ke pembicaraan sapi yang dihibahkan. Walaupun tali Syaykh sudah jelaskan dalam rangka kebangkitan nasional, supaya bangsa ini bangkit. Tapi mungkin akibat kekurang-seriusan pemerintah atau instansi yang terkait untuk melahirkan sapi pejantan unggul?
Sesungguhnya, keseriusan itu bisa ditengok dari beberapa segi. Sudah dimulai dari sejak awal, tahun 2000, didanai, diatur dengan program, apakah itu tidak serius? Tapi mengapa tidak berhasil, itu yang tidak tahu.
Programnya, barangkali hanya serius di atas kertas?
Serius sesunguhnya, serius. Kalau bicara, serius. Rapatnya saj a berpuluh-puluh kali. Terhitung rapat uji progeny sudah 42 kali, tapi yang berhasil baru di Al-Zaytun. Embrio transfer sudah kemana-mana menyebar, yang ada yang tersisa dan terpelihara dengan baik hanya di Al-Zaytun. Jadi kita tidak paham itu kenapa tidak berhasil. Padahal, ciri¬ciri serius adalah diberi modal, negara ngasih modal; Ada organisasi, yaitu dings-dings; Ada ahlinya, profesor, doktor dan rapat, cukup. Nah, kenapa yang tidak didanai sama sekali, kok berhasil. Seperti Al-Zaytun, tidak mengambil dana dari anggaran belanja Negara, tapi dana sendiri dan berhasil.
Lalu, kenapa yang tidak didanai justru berhasil?
Nah, itulah yang kita tidak tahu. Kalau begitu, barangkali jangan didanai semua.
Tapi kan memerlukan biaya besar?
Butuh biaya, tapi dana sendiri.
Berbiaya besar dan didanai sendiri. Lalu kenapa dihibahkan, dikasih gratis?
Kalau mau ngasih, kasihlah yang disayangi. Itu teori ilahi begitu. Kamu tidak akan mendapat kebaikan sebelum kamu memberikan sesuatu yang sangat kamu cintai. Ini bull yang paling dicintai, hari-hari diajak bicara, disayang di Al-Zaytun. Melihat Ibu Pertiwi sedang sangat kekurangan bibit unggul. Cuma punya sepuluh persen. Dan semua akan dihibahkan, cuma belum terpilih semua, mungkin nanti bertahap.
Memang semua mau dihibahkan juga?
Semua. Kita bisa jadikan bull yang bagus lagi. Hadiahkan lagi. Kalau dijual kan cuma berapa?
Puluhan miliar?
Murah, miliar itu bisa dicari. Yang penting bangsa kita ini bangkit. Protein terpenuhi, susu terpenuhi.
Ukuran puluhan miliar terlalu kecil?
Terlalu kecil. Amat sangat kecil.
Biar pun itu tidak didanai oleh pemerintah?
Jangan ngomong tidak didanai. Kita tinggal di Indonesia ini berarti Indonesia memberikan sesuatu pads kita. Tidak harus dari pemerintah dong.
Dalam proses penghibahan ini, Al-Zaytun yang menawari atau pemerintah?
Ya sama, kita mendengar rintihan, ya kita tawarkan, dan diterima.
Tapi pasti ada forumnya?
Kita selalu ikut forum-forum itu. Menyaksikan 42 kali sidang. Itu ke itu. Maka kita teriak, ambil semuanya.
Kenapa sampai Syaykh teriak, apa kondisinya?
Kondisinya ya itu, rapat dari itu ke itu saja, tidak berhasil lagi. Sedangkan semua terdanai dengan bagus. Nah, kita tidak pernah minta. Satu sen pun tidak pernah minta. Kita sekarang hibahkan semua. Dalam mulut kami bicara, semua bull yang dianggap, baik untuk pejantan, ambil semua¬nya. Kita punya 46 itu. Sekarang baru tepilih 18.
Apa reaksi mereka, kaget atau bagaimana?
Ya, sedikit kaget. Tapi kan tidak perlu dengan kaget terus kita senang. Nggak, dia menerima gitu.
Bukan soal senang, tapi pemerintah sendiri kan tidak berhasil walaupun sudah mengeluarkan biaya banyak? Tapi Al¬Zaytun danai sendiri, lalu semua malah mau dikasih, dihibahkan. Apakah pemerintah berterima-kasih?
Kalau memberi kepada negara jangan pernah mengharapkan ucapan terimakasih. Kita ini keluarga Indonesia. Kan ekonomi diatur secara kekeluargaan.
Tapi walaupun hibah, bisa saja nanti biaya transportnya lebih besar?
Oh tidak. Semua kita antar, supaya tidak ada mark up. Nanti dipikirnya hibah koq ada apa-apanya.
Sesungguhnya apa yang ada di pikiran Syaykh sampai menghibahkan sedemikian rupa?
Supaya maju. Peternakan Indonesia supaya tidak mengeluh setiap saat. Untung saya diundang setiap rapat-rapat begitu itu, jadi saya senang mendengar hal ini. Oh, koq masih mengeluh saja. Punya sepuluh persen kasihlah sepuluh persen. Pun yang menghitung sepuluh persen bukan kami tetapi mereka. Kita pun kaget, kok cuma 18 saja bisa sepuluh persen. Berarti sedikit sekali keperluan itu. Indonesia segini besarnya koq sedikit sekali keperluan itu. Maka, tunggu lima tahun, akan kita penuhi seratus persen. Dan bukan 18, seratus persennya. Kita ingin Indonesia ini memi¬liki sapi minimal seperempat jumlah manusianya.
Kalau idealnya berapa?
Itu ideal. Seperempat dari ma¬nusianya. Terns yang seperempat itu nambah lagi seperempat, untuk ekspor. Nambah lagi seperempat, ekspor. Nambah lagi seperempat, ekspor. Begitu seterusnya. Kan enteng, Indonesia tempat rumput, tempat jagung, tempat segala-galanya. Pemeliharanya pun banyak.
Jadi sudah ada penyerahan resminya?
Sudah. Tanga disaksikan siapa-siapa. Malaikat yang menyaksikan, kanan dan kiri.
Proses formalnya sudah?
Sudah. Dan bangsa sapi yang kita hibahkan ini, bangsa sapi yang sedang diminati oleh bangsa Indonesia, yang na¬manya simental, Limousin, FH, anges, brangus, semuanya diminati. Jadi ke depan, kita harapkan, di sini (Al-Zaytun) menjadi pusat bibit sapi, baik perah maupun sapi pedaging. Kalau sapi perah pasti dapat daging, kalau sapi pedaging tidak dapat susu.
Maka Al-Zaytun prioritaskan sapi perah?
Sapi perah. Maka, anak jan¬tannya harus di-cut. Teorinya, anak jantan itu 50 persen. Kalau kita punya seribu, akan dapat lima ratus anak jantan. Itu anak jantan yang dikehendaki dagingnya. Tapi suatu saat kita membikin anak betina yang tidak dikehen¬daki, tapi anak jantan. Itulah namanya untuk pejantan unggul tadi. Kanada mena¬warkan ke kita satu, Rp 2,5 M. (US$ 250.000) satu kepala sapi pejantan. Kalau saya sebagai pemegang kendali Indonesia, kita ambil paling tidak 200. Lima tahun, kita sudah berdiri sendiri dan bisa mengekspor. Jangan diurus oleh dings-dings. Tunjuk swasta-swasta yang bertanggung jawab, diaudit. Lima tahun beres.
Itulah ya akses ke tempat berkuasa itu. Coba, kalau Syaykh yang pemegang kendali?
Iya, kan pemegang kendali di Al-Zaytun sudah. Makanya itu kita masuk.
Iya, jadi apa yang kita harap kalau yang dipilih masih seperti begini?
Jangan nunggu itu, yang sudah ada saja yang kita buat. Makanya kita buat sekarang.
Seharusnya setiap pemimpin nasional datang ke sini kalau mau series mengelola Negara?
Tidak harus ke mana-mana. Pikiran ini sesuaikan dengan kenyataan, itu saja sudah se¬lesai. Kita ingin tahu perkem¬bangan di rumah, kan tidak mesti duduk di rumah. Kan ba¬nyak malaikat, dari akhbar, dari televisi, dari cerita, dari situ kan bisa dilihat, cerna di dalam, kerjakan. Seperti kita mengimani Muhammad Rasullulah, seperti kita meng¬imani Yesus. Ketemu juga nggak. Tapi perjuangannya kan bisa dicerna di sini. Masukkan dada, kerjakan, kan gitu. Jadi tidak harus melihat. Itu namanya orang masih kurang pintar.
Ustadz Abdul Halim dari New Zealand, rupanya telah menseleksi sapi. Mau dikemanakan sapi yang seribu dua ratusan itu?
Ya sekarang sapi sedang di kapal. Sedang menari-nari di kapal. Datang, ya kita ternak. Menyambut kebangkitan na¬sional semua ini. Dimulai dari 1200 ini.
Tapi konon susah juga mendatangkannya, padahal demi kebangkitan nasional, sampai prosedurnya juga sulit?
Oh, itu prosedur sulit itu kan di Indonesia sudah biasa. Siapa yang berani menghadapi kesulitan dialah yang berhasil.
Jadi tidak perlu dikeluhkan?
Tidak perlu dikeluhkan. Keluar uang nyogok juga jangan. Jalan saja. Kalau kita harus nyogok berarti pendidikan nyogok.
Barangkali itu yang mempersulit ya. Dalam tanda kutip?
Jangan, kita tidak menduga sama sekali itu.
Iya, memang harus ditempuh?
Tempuh saja. Manusia modern kan prosedural. Ke depan, kalau kita bisa sempurnakan, ya disederhanakan, dipraktiskan.
Kembali ke hibah tadi. Tentu dihibahkan dengan sukarela tanpa mengharapkan imbalan demi tu¬juan yang Syaykh tadi sudah jelaskan. Tapi melihat pengalaman, pemerintah selalu gagal? Jangan-jangan nanti salah memelihara sehingga sapi-sapinya tidak bisa berproduksi?
Kalau itu enggak. Sebab nanti itu disebarkan ke peternak. Yang dimasukkan gagal tadi, mewujudkan menyediakan bibit seperti itu yang banyak gagal.
Bukan untuk diberikan kepada pihak instansi?
Nanti instansi yang punya we¬wenang menyebarkan bibit, itulah yang mengelola. Kalau mengelola bibit berjalan baik di Indonesia ini. Mengelola produksi semen, itu berjalan. Yang kita bicarakan kegagalan tadi, mempersiapkan uji zu¬riat, mempersiapkan perwu¬judan bibit unggul, itu belum berhasil baik.
Jadi sesudah berproduksi begitu, tinggal memelihara?
Tinggal memelihara dan men¬distribusikan. Jadi jangan maknai salah.
Maksud saya juga begitu, nanti di dalam pemeliharaan. Ini kan dihibahkan? Jangan jangan yang dihibahkan ini gagal?
Insya Allah baik, karena tenaga pelaksananya sudah teruji di BIB itu. Punya pengalaman baik, tinggal mendistribusikan hasil. Malah, kalau tidak kita hibahkan, di sini saja, kurang pemanfaatannya. Karena memenuhi kebutuhan kita saja kan terlalu sedikit.
Kan bisa dijual?
Jangan bicara jual. Kita itu bicara masyarakat peternak Indonesia ini harus dibantu.
Tapi tetap juga ada nilai jualnya?
Ya, kalau dihitung uang, itu sedikit sekali. Tapi kalau sudah jadi sapi, artinya besar. Bisa menghasilkan 270 ribu sapi per tahun kali 300 kg kali Rp 30 ribu. Jadi 2,5 triliun per tahun. Itulah nilai hibahnya.
Masih hanya 18 kepala sudah 10% dari kebutuhan?
Hibah ini bisa memenuhi kebutuhan 10%. Satu lembaga pendidikan, bukan lembaga perdagangan, bisa masukkan hibah, menduduki 10%. Kalau saham, itu kan 10%. Jadi sa¬hamnya 10%. Pemerintah sen¬diri hanya Sekonyong¬konyong datang pendatang baru ambil 10%. Ibarat sahamlah. Kalau dalam percaturan dunia bisnis, ini sudah menguasai, pendatang baru ini. Sekonyong-konyong sudah staf direksi. Kan, logika saham itu begitu.
Al-Zaytun kan menghibahkan kepada pemerintah. Apa ada semacam perjanjian dengan pemerintah bahwa nanti mereka tidak boleh menjualnya ke masyarakat?
Mesti dijual. Itu semen mesti dijual. Bagaimana tidak dijual, untuk memproses, mewujudkan semen itu ada biaya? Menyimpannya, ada biaya. Ya itu, ganti Rp 10 ribu tadi. Ini untuk negara. Lepaskan, mau dikasihkan cuma-cuma, mau dijual kek, Itu terserah mereka. Yang penting ada lembaga swasta, pendidikan pula, mendorong kemajuan peternakan Indonesia. Memberikan 10%-nya dari kebutuhan nasional.
Sumber : Majalah Berita Indonesia Edisi 57 - 2008
Tapi itu memerlukan pe¬mimpin panutan dan berani?
Bagaimana pemimpin tidak panutan dan berani? Siapa saja bisa asal mau. Siapa pun bisa. Tapi ini memang belum mau. Pemimpin Indonesia ini Siapa pun bisa. Cuma memilih programnya.
Ada juga yang tidak berani mengambil program seperti itu?
Belum tentu tidak berani, mungkin tidak terpikirkan. Padahal bangsa ini pintar-pintar. Sejak 1800-an, bangsa Indonesia telah menanam kedelai. Juga sudah menanam padi. Sejak 1818, sapi sudah didatangkan ke Indonesia. Jadi, bangsa Indonesia semua bisa asal memilih program yang tepat. Ini kan belum tepat semua. Padahal pintar-pintar kok bangsa Indonesia ini.
Kembali ke pembicaraan sapi yang dihibahkan. Walaupun tali Syaykh sudah jelaskan dalam rangka kebangkitan nasional, supaya bangsa ini bangkit. Tapi mungkin akibat kekurang-seriusan pemerintah atau instansi yang terkait untuk melahirkan sapi pejantan unggul?
Sesungguhnya, keseriusan itu bisa ditengok dari beberapa segi. Sudah dimulai dari sejak awal, tahun 2000, didanai, diatur dengan program, apakah itu tidak serius? Tapi mengapa tidak berhasil, itu yang tidak tahu.
Programnya, barangkali hanya serius di atas kertas?
Serius sesunguhnya, serius. Kalau bicara, serius. Rapatnya saj a berpuluh-puluh kali. Terhitung rapat uji progeny sudah 42 kali, tapi yang berhasil baru di Al-Zaytun. Embrio transfer sudah kemana-mana menyebar, yang ada yang tersisa dan terpelihara dengan baik hanya di Al-Zaytun. Jadi kita tidak paham itu kenapa tidak berhasil. Padahal, ciri¬ciri serius adalah diberi modal, negara ngasih modal; Ada organisasi, yaitu dings-dings; Ada ahlinya, profesor, doktor dan rapat, cukup. Nah, kenapa yang tidak didanai sama sekali, kok berhasil. Seperti Al-Zaytun, tidak mengambil dana dari anggaran belanja Negara, tapi dana sendiri dan berhasil.
Lalu, kenapa yang tidak didanai justru berhasil?
Nah, itulah yang kita tidak tahu. Kalau begitu, barangkali jangan didanai semua.
Tapi kan memerlukan biaya besar?
Butuh biaya, tapi dana sendiri.
Berbiaya besar dan didanai sendiri. Lalu kenapa dihibahkan, dikasih gratis?
Kalau mau ngasih, kasihlah yang disayangi. Itu teori ilahi begitu. Kamu tidak akan mendapat kebaikan sebelum kamu memberikan sesuatu yang sangat kamu cintai. Ini bull yang paling dicintai, hari-hari diajak bicara, disayang di Al-Zaytun. Melihat Ibu Pertiwi sedang sangat kekurangan bibit unggul. Cuma punya sepuluh persen. Dan semua akan dihibahkan, cuma belum terpilih semua, mungkin nanti bertahap.
Memang semua mau dihibahkan juga?
Semua. Kita bisa jadikan bull yang bagus lagi. Hadiahkan lagi. Kalau dijual kan cuma berapa?
Puluhan miliar?
Murah, miliar itu bisa dicari. Yang penting bangsa kita ini bangkit. Protein terpenuhi, susu terpenuhi.
Ukuran puluhan miliar terlalu kecil?
Terlalu kecil. Amat sangat kecil.
Biar pun itu tidak didanai oleh pemerintah?
Jangan ngomong tidak didanai. Kita tinggal di Indonesia ini berarti Indonesia memberikan sesuatu pads kita. Tidak harus dari pemerintah dong.
Dalam proses penghibahan ini, Al-Zaytun yang menawari atau pemerintah?
Ya sama, kita mendengar rintihan, ya kita tawarkan, dan diterima.
Tapi pasti ada forumnya?
Kita selalu ikut forum-forum itu. Menyaksikan 42 kali sidang. Itu ke itu. Maka kita teriak, ambil semuanya.
Kenapa sampai Syaykh teriak, apa kondisinya?
Kondisinya ya itu, rapat dari itu ke itu saja, tidak berhasil lagi. Sedangkan semua terdanai dengan bagus. Nah, kita tidak pernah minta. Satu sen pun tidak pernah minta. Kita sekarang hibahkan semua. Dalam mulut kami bicara, semua bull yang dianggap, baik untuk pejantan, ambil semua¬nya. Kita punya 46 itu. Sekarang baru tepilih 18.
Apa reaksi mereka, kaget atau bagaimana?
Ya, sedikit kaget. Tapi kan tidak perlu dengan kaget terus kita senang. Nggak, dia menerima gitu.
Bukan soal senang, tapi pemerintah sendiri kan tidak berhasil walaupun sudah mengeluarkan biaya banyak? Tapi Al¬Zaytun danai sendiri, lalu semua malah mau dikasih, dihibahkan. Apakah pemerintah berterima-kasih?
Kalau memberi kepada negara jangan pernah mengharapkan ucapan terimakasih. Kita ini keluarga Indonesia. Kan ekonomi diatur secara kekeluargaan.
Tapi walaupun hibah, bisa saja nanti biaya transportnya lebih besar?
Oh tidak. Semua kita antar, supaya tidak ada mark up. Nanti dipikirnya hibah koq ada apa-apanya.
Sesungguhnya apa yang ada di pikiran Syaykh sampai menghibahkan sedemikian rupa?
Supaya maju. Peternakan Indonesia supaya tidak mengeluh setiap saat. Untung saya diundang setiap rapat-rapat begitu itu, jadi saya senang mendengar hal ini. Oh, koq masih mengeluh saja. Punya sepuluh persen kasihlah sepuluh persen. Pun yang menghitung sepuluh persen bukan kami tetapi mereka. Kita pun kaget, kok cuma 18 saja bisa sepuluh persen. Berarti sedikit sekali keperluan itu. Indonesia segini besarnya koq sedikit sekali keperluan itu. Maka, tunggu lima tahun, akan kita penuhi seratus persen. Dan bukan 18, seratus persennya. Kita ingin Indonesia ini memi¬liki sapi minimal seperempat jumlah manusianya.
Kalau idealnya berapa?
Itu ideal. Seperempat dari ma¬nusianya. Terns yang seperempat itu nambah lagi seperempat, untuk ekspor. Nambah lagi seperempat, ekspor. Nambah lagi seperempat, ekspor. Begitu seterusnya. Kan enteng, Indonesia tempat rumput, tempat jagung, tempat segala-galanya. Pemeliharanya pun banyak.
Jadi sudah ada penyerahan resminya?
Sudah. Tanga disaksikan siapa-siapa. Malaikat yang menyaksikan, kanan dan kiri.
Proses formalnya sudah?
Sudah. Dan bangsa sapi yang kita hibahkan ini, bangsa sapi yang sedang diminati oleh bangsa Indonesia, yang na¬manya simental, Limousin, FH, anges, brangus, semuanya diminati. Jadi ke depan, kita harapkan, di sini (Al-Zaytun) menjadi pusat bibit sapi, baik perah maupun sapi pedaging. Kalau sapi perah pasti dapat daging, kalau sapi pedaging tidak dapat susu.
Maka Al-Zaytun prioritaskan sapi perah?
Sapi perah. Maka, anak jan¬tannya harus di-cut. Teorinya, anak jantan itu 50 persen. Kalau kita punya seribu, akan dapat lima ratus anak jantan. Itu anak jantan yang dikehendaki dagingnya. Tapi suatu saat kita membikin anak betina yang tidak dikehen¬daki, tapi anak jantan. Itulah namanya untuk pejantan unggul tadi. Kanada mena¬warkan ke kita satu, Rp 2,5 M. (US$ 250.000) satu kepala sapi pejantan. Kalau saya sebagai pemegang kendali Indonesia, kita ambil paling tidak 200. Lima tahun, kita sudah berdiri sendiri dan bisa mengekspor. Jangan diurus oleh dings-dings. Tunjuk swasta-swasta yang bertanggung jawab, diaudit. Lima tahun beres.
Itulah ya akses ke tempat berkuasa itu. Coba, kalau Syaykh yang pemegang kendali?
Iya, kan pemegang kendali di Al-Zaytun sudah. Makanya itu kita masuk.
Iya, jadi apa yang kita harap kalau yang dipilih masih seperti begini?
Jangan nunggu itu, yang sudah ada saja yang kita buat. Makanya kita buat sekarang.
Seharusnya setiap pemimpin nasional datang ke sini kalau mau series mengelola Negara?
Tidak harus ke mana-mana. Pikiran ini sesuaikan dengan kenyataan, itu saja sudah se¬lesai. Kita ingin tahu perkem¬bangan di rumah, kan tidak mesti duduk di rumah. Kan ba¬nyak malaikat, dari akhbar, dari televisi, dari cerita, dari situ kan bisa dilihat, cerna di dalam, kerjakan. Seperti kita mengimani Muhammad Rasullulah, seperti kita meng¬imani Yesus. Ketemu juga nggak. Tapi perjuangannya kan bisa dicerna di sini. Masukkan dada, kerjakan, kan gitu. Jadi tidak harus melihat. Itu namanya orang masih kurang pintar.
Ustadz Abdul Halim dari New Zealand, rupanya telah menseleksi sapi. Mau dikemanakan sapi yang seribu dua ratusan itu?
Ya sekarang sapi sedang di kapal. Sedang menari-nari di kapal. Datang, ya kita ternak. Menyambut kebangkitan na¬sional semua ini. Dimulai dari 1200 ini.
Tapi konon susah juga mendatangkannya, padahal demi kebangkitan nasional, sampai prosedurnya juga sulit?
Oh, itu prosedur sulit itu kan di Indonesia sudah biasa. Siapa yang berani menghadapi kesulitan dialah yang berhasil.
Jadi tidak perlu dikeluhkan?
Tidak perlu dikeluhkan. Keluar uang nyogok juga jangan. Jalan saja. Kalau kita harus nyogok berarti pendidikan nyogok.
Barangkali itu yang mempersulit ya. Dalam tanda kutip?
Jangan, kita tidak menduga sama sekali itu.
Iya, memang harus ditempuh?
Tempuh saja. Manusia modern kan prosedural. Ke depan, kalau kita bisa sempurnakan, ya disederhanakan, dipraktiskan.
Kembali ke hibah tadi. Tentu dihibahkan dengan sukarela tanpa mengharapkan imbalan demi tu¬juan yang Syaykh tadi sudah jelaskan. Tapi melihat pengalaman, pemerintah selalu gagal? Jangan-jangan nanti salah memelihara sehingga sapi-sapinya tidak bisa berproduksi?
Kalau itu enggak. Sebab nanti itu disebarkan ke peternak. Yang dimasukkan gagal tadi, mewujudkan menyediakan bibit seperti itu yang banyak gagal.
Bukan untuk diberikan kepada pihak instansi?
Nanti instansi yang punya we¬wenang menyebarkan bibit, itulah yang mengelola. Kalau mengelola bibit berjalan baik di Indonesia ini. Mengelola produksi semen, itu berjalan. Yang kita bicarakan kegagalan tadi, mempersiapkan uji zu¬riat, mempersiapkan perwu¬judan bibit unggul, itu belum berhasil baik.
Jadi sesudah berproduksi begitu, tinggal memelihara?
Tinggal memelihara dan men¬distribusikan. Jadi jangan maknai salah.
Maksud saya juga begitu, nanti di dalam pemeliharaan. Ini kan dihibahkan? Jangan jangan yang dihibahkan ini gagal?
Insya Allah baik, karena tenaga pelaksananya sudah teruji di BIB itu. Punya pengalaman baik, tinggal mendistribusikan hasil. Malah, kalau tidak kita hibahkan, di sini saja, kurang pemanfaatannya. Karena memenuhi kebutuhan kita saja kan terlalu sedikit.
Kan bisa dijual?
Jangan bicara jual. Kita itu bicara masyarakat peternak Indonesia ini harus dibantu.
Tapi tetap juga ada nilai jualnya?
Ya, kalau dihitung uang, itu sedikit sekali. Tapi kalau sudah jadi sapi, artinya besar. Bisa menghasilkan 270 ribu sapi per tahun kali 300 kg kali Rp 30 ribu. Jadi 2,5 triliun per tahun. Itulah nilai hibahnya.
Masih hanya 18 kepala sudah 10% dari kebutuhan?
Hibah ini bisa memenuhi kebutuhan 10%. Satu lembaga pendidikan, bukan lembaga perdagangan, bisa masukkan hibah, menduduki 10%. Kalau saham, itu kan 10%. Jadi sa¬hamnya 10%. Pemerintah sen¬diri hanya Sekonyong¬konyong datang pendatang baru ambil 10%. Ibarat sahamlah. Kalau dalam percaturan dunia bisnis, ini sudah menguasai, pendatang baru ini. Sekonyong-konyong sudah staf direksi. Kan, logika saham itu begitu.
Al-Zaytun kan menghibahkan kepada pemerintah. Apa ada semacam perjanjian dengan pemerintah bahwa nanti mereka tidak boleh menjualnya ke masyarakat?
Mesti dijual. Itu semen mesti dijual. Bagaimana tidak dijual, untuk memproses, mewujudkan semen itu ada biaya? Menyimpannya, ada biaya. Ya itu, ganti Rp 10 ribu tadi. Ini untuk negara. Lepaskan, mau dikasihkan cuma-cuma, mau dijual kek, Itu terserah mereka. Yang penting ada lembaga swasta, pendidikan pula, mendorong kemajuan peternakan Indonesia. Memberikan 10%-nya dari kebutuhan nasional.
Sumber : Majalah Berita Indonesia Edisi 57 - 2008
3 Comments:
makasih ya atas infonya
hai kalian yang masih sakit hati dengan al zaytun segeralah ikhlaskan amal kamu yang sudah masuk milyaran agar berguna dunia dan akherat itu semua adalah tabunganmu diakherat untuk mencapai syurganya ALLAH SWT.
walaupun kamu sudah tidak ikut lagi mendanai al zaytun, syekh akan selalu ingat kepadamu terutama ALLAH SWT akan menepati janji-NYA dengan menggantinya dengan pahala yang berlipat ganda dan kenikmatan dunia yang kalian tidak sangka-sangka kemudian ALLAH SWT memberikan kamu hadiah yang tiada tara didunia yaitu JANNATIN VIRDAUS. itu sudah janji ALLAH SWT.
jangan ikuti sisi jahatmu untuk menghitung-hitung amal kamu di dunia dan ALLAH SWT lebih pandai perhitungannya dari kamu.
Sungguh Luar biasa pikiran Syekh ini. Seperti punya visi jauh ke depan untuk kebaikan bangsa ini. Sungguh visioner. Peternakan/pertanian memang harus layak dikedepankan. Obrolan mengenai "sapi" ini membuka pikiran yang "sempit", sehingga bisa menjadi besar. Sebesar pikiran Syekh. Semoga Syekh selalu diberi kesehatan & kekuatan untuk terus melahirkan ide-ide terbaiknya untuk Bangsa ini.
Post a Comment
<< Home