Sunday, July 20, 2008

Kebangkitan Nasional itu, Kebangkitan Pendidikan


Tokoh pendidikan terpadu Syaykh AI-Zaytun Dr AS Panji Gumilang mengatakan dalam rangka memeringati Satu Abad Hari Kebangkitan Nasional (20 Mei 1908-2008) semua elemen bangsa harus memberi solusi untuk mengatasi berbagai masalah yang tengah dihadapi bangsa ini.

Sudah seratus tahun, apa yang telah kita perbuat? Yang bisa menjawab, ya masing-masing," kata tokoh pendidikan bervisi demokrasi, toleransi dan perdamaian, ini dalam percakapan dengan Wartawan Berita Indonesia, 12 Mei 2008. Menurut pemangku pendidikan berbasis (semangat) pesantren tapi bersistern modern ini, sesungguhnya kebangkitan nasional itu adalah kebangkitan pendidikan. "Ayo kita tata pendidikan ini lebih baik dari hari ini. Nah, itu ciri bangkit, " kata pendiri dan pemimpin Ma'had AI-Zaytun ini.

Tokoh yang sangat enerjik ini juga mengungkapkan tentang politik bersepeda, dalam hubungannya dengan kepemimpinan dan kebangkitan nasional. "Sepeda itu harus dipegang oleh pengendaranya. Power-nya itu dari pemimpinnya (pengendara). Itu politik bersepeda. Kalau man mengendarai dan mengendalikan kekuatan dahsyat, sepeda itu dahsyat, maka dinamakan bicycle. Cycle, cycling yang terns bergerak (putaran)," katanya. Selain itu, dia juga menegaskan sikapnya: "Simbol saya demokrasi perdamaian tanpa senjata," katanya ikhlas dan berterimakasih tatkala dihadiahi rencong.

Berikut ini kami sajikan petikan wawan¬cara dengan tokoh yang sangat berkomit
men membangun Indonesia yang kuat, hidup dalam zona demokrasi dan perdamaian Berta mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia ini.

Syaykh banyak berbicara mengenai kebangkitan nasional. Kebangkitan nasional sudah seabad tapi rasanya keadaan bangsa ini masih begitu-begitu saja?
Makanya kita bertanya apa yang telah kita perbuat, itu saja. Sudah seratus tahun, apa yang telah kita perbuat? Yang bisa menjawab, ya masing-masing. Kalau masing-masing menjawab dengan perbuatan, baru kita bisa mengatakan bangsa ini bangkit.

Lalu kalau begitu masalahnya, siapa yang akan memberi solusi?
Oh, semua elemen bangsa harus memberi solusi. Kebangkitan nasional itu sesung¬guhnya kebangkitan pendidikan. Sebab, dulu tatkala kita masih menjadi bangsa Hindia Timur, ada politik etis kan? Terjadilah pendidikan. Dari situlah bangkit. Jadi kebangkitan nasional adalah kebang¬kitan pendidikan nasional. Jika ditanya siapa yang menbangkitkan ? Ya, memang pemerintah dulu.

Apa pesan Syaykh dalam rangka satu abad kebangkitan nasional?
Ayo kita tata pendidikan ini lebih baik dari hari ini. Nah, itu ciri bangkit. Mengapa sekarang kita masih mengalami "ABCD", seperti dikatakan orang belum mencapai sasaran? Pendidikannya belum sempurna. Dan berbahagialah orang yang merasa tidak bangkit-bangkit walaupun dirinya mempunyai kemajuan. Tapi celaka bagi orang yang masih belum bisa merangkak pun sudah mengatakan bangkit.

Sama seperti Indonesia sekarang?
Jangan disamakan. Siapa saja.

Kan sudah 100 tahun. Tapi nggak bangkit-bangkit tapi merasa bangkit?
Bahagia kita, artinya, masih merasa yang tidak bangkit ini. Ada kebahagiaan. Artinya, menurut orang itulah yang bangkit itu. Tapi kalau masih seperti belum bangkit namun mengatakan sudah bangkit, celaka ini. Contohnya, pintu gerbang pertama saja kebanjiran dua kali sebelum setahun. Jadi angkatan lautnya pindah ke darat. Jadi untuk memperbaiki nasib bangsa kita nanti, pendidikan harus ditata, pangan ditata, keamanan ditata.

Pemimpin sudah melakukan apa yang dilakukannya. Tapi warga juga kan harus bergerak. Syaykh melihat bagaimana pergerakan masyarakat ini untuk bangkit atas inisiatifnya sendiri?
Itulah yang harus dididikkan panjang. Seperti bangsa Belanda dulu mendidik bangsa Hindia Timur ini supaya bangkit dimodali 3 M (membaca, menulis, menghitung). Nggak banyak itu modalnya. Membaca, setelah kamu bisa membaca ABCD, bacalah Indonesiamu ini. Setelah itu, menulis. Tulislah apa yang ada ini, baru kalkulasikan (menghitung) apa yang ada ini. Tiga modal An saja bisa membangkitkan Soekarno-Hatta berproklamasi, bisa membangkitkan segala macam. Sekarang harusnya bisa membangkitkan yang lain lagi dengan 3M tadi.

Selain pendidikan tadi, supaya kita bergerak bangkit lebih baik, apa yang lainnya?
Iya itu, start-nya dari situ (pendidikan). Sehingga nanti karena membaca, menulis dan menghitung, ini koq lambat, oh kurang asupan. Asupannya diperbanyak. Tapi memang ada satu tanda yang sekonyong-konyong bisa tedadi di Indonesia belakangan ini. Sebelum ada pengu¬muman beras naik, Indonesia kan masih mengimpor. Waktu beras masih US$ 400, mengimpor kekurangan sekian. Apalagi akibat banjir, panen kurang. Tapi, begitu beras dinyatakan US$ 700 sampai US$ loon lebih, tiba-tiba kita surplus. Kok bisa secepat itu? Terns langsung man mengekspor. Nah, ini suatu bukti, bahwa tidak memiliki kesiapan. Murah mengimpor, mahal mengekspor, sambil sekonyong-konyong data itu dari minus menjadi surplus.

Jadi bagaimana kalau kita dimenej orang seperti itu?
Ya diubah. Masyarakat bangsa ini merubah.

Tapi maunya, Syaykh menjadi pemimpin nasional?
Tidak seperti begitu merubah itu. Proses masyarakat bangsa Indonesia inilah yang akan menentukan perubahan itu.

Tapi kan perlu akselerasi?
Akselarasi dan tidak akselerasi itu juga sebuah proses. Belum tentu akselerasi itu bisa mempercepat. Satu bukti, sepuluh tahun yang dinamakan reformasi. Orang¬-orang masih bertanya apa hasil reformasi. Nah ini juga begitu. Maka proses ini harus berjalan terus. Harus diubah terus. Yang merubah itu bukan seketika berproses. Nah kita sudah memiliki sarana perubahan itu yakni demokrasi. Harus disadarkan bangsa ini.

Tapi kan pemimpinnya yang memegang peranan strategis?
Ya. Nanti kalau diganti juga berubah lagi. Sama halnya tatkala UUD 1945, itu kan susahnya setengah mati untuk dirubah waktu itu. Begitu dirubah, lima kali sekaligus. Itulah proses bangsa seperti itu.

Proses konstitusional yang teler itu?
Itu kan yang terjadi di Indonesia. Satu lagi, betapa satu dekrit atau statement bahwa dwifungsi ABRI mutlak. Namun lepas begitu saja. Betapa kuatnya Pak Harto yang didukung sampai segala sesuatu adalah berdasarkan petunjuk bapak presiden. Tapi kan dia yang merubah. Itulah proses masyarakat bangsa Indonesia.

Ini susahnya, bagaimana kalau nggak ada komitmen yang dipegang?
Tidak susah. Artinya, ada perubahan itu. Segala perubahan demi perubahan tidak sekaligus menjadi yang kita harapkan. Siapa tahu dalam perubahan berikutnya.

Ya, tapi perlu juga konsistensi dalam memandang sesuatu sehingga bangsa itu dapat dibawa dalam satu tujuan yang dari awal dipersiapkan. Tapi kalau tidak konsisten dan berhenti-berhenti, bagaimana pembentukan bangsanya?
Ini tidak berhenti, proses berubah.

Walaupun lama ya?
Lama itu tidak ukuran. Dan cepat pun tidak ukuran.

Tapi itulah arti pemimpin. Pemim¬pin yang menjadi pusat, pemegang kendali strategis?
Oh ya! Bangsa Indonesia 50 Tahun, hanya dipimpin dua presiden. Tapi sepuluh tahun lima presiden. Normal-normal saja, kan.

Teler itu?.
Ya lepaskan, apa bahasanya itu. Itu kan masing-masing punya bahasa yang bisa untuk mengalamatkan.

Ada yang tanya, seorang jurnalis, dia tahu kalau kami sering ke Al Zaytun. Syaykh kabarnya man disandingkan dengan Wiranto, katanya begitu. Baru kami dengar. Benar tidak?
Oleh siapa, tanya dong. Cari dulu, tanya siapa yang akan menyandingkan.

Itulah yang dia dengar informasinya. Bagi wartawan, suatu kecenderungan adalah fakta. Ada kecenderungan ke situ kali?
Tanya kepada yang menginformasikan. Kan sudah saya katakan tadi. Kalau ada apa-apa di Al-Zaytun kan bukan siapa-siapa yang tahu duluan, wartawan Berita Indonesia yang tahu duluan. Wartawan Zaytun belum tentu tahu duluan.

Tapi, baik juga kali itu?
Menurut siapa?

Paling tidak menurut kami !.
Terserahlah. Kalau ada pandangan me¬nurut saya baik, jangan pernah ditutup pandangan orang lain.

Kami senang mendengar berita itu.
Sedih pun tidak apa-apa.

Walaupun dia hanya sekadar bertanya, niatnya untuk menyelidiki pun terserah, tapi bertanya saja menurut saya sesuatu hal yang baik. Tapi, kalau itu diusulkan oleh banyak orang, bagaimana Syaykh menyingkapi?
Itu kalau. Kalau tidak, bagaimana? Kalau saja ditanggapi.

Kembali ke kebangkitan. Tadi Syaykh bilang pendidikan sebagai motor penggerak, dan Al-Zaytun sedang memulainya, dalam delapan tahun ini sudah bergerak. Kebangkitan Indonesia seperti apa yang diimpikan di lembaga. pendidikan Al-Zaytun?
Kita punyai nilai-nilai dasar negara. Yang oleh banyak orang dikatakan Pancasila. Nilainya apa? Ya pendidikan itu sifatnya rohaniah dan jasmaniah, pembangunan fisik. Mewujudkan suatu kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Ini cita-citanya kebangkitan nasional itu. Yang lain-lain sudahlah tidak menjadi masalah. Pokoknya yang penting terakhir, mewujudkan kesejahteraan sosial.

Terus langkah-langkah itu harus dikonkritkan?
Oh iya tentu. Tapi kan ide besarnya itu. Bukan lagi sekadar menghafal Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan/Perwakilan, Persatuan Indonesia, tapi lebih lagi wujudkan Kesejahteraan Social untuk Seluruh Rakyat Indonesia. Kita sudah harus bersatu untuk menata itu semua. Mulai dari pendidikan, kemudian pem¬bangunan fisik dan pembangunan non¬fisik. Dan semua melibatkan bangsa. Dan semua berbasis lokal, sehingga Bhineka Tungal Ika terwujud.
Kemudian ke depan, menggaris-bawahi negara persatuan ini, Persatuan Indonesia. Kemudian memandang kembali, sudah betulkah otonomi ini. Otonomi sama dengan merdeka. Satu sisi tidak pernah mengenal satu kebebasan daerah dengan bahasa sentralisasi. Satu sisi memberikan kebebasan seluas-luasnya dengan bahasa otonomi. Antagonistic, paradoks. Maka yang diwujudkan nanti desentralisasi seluas-luasnya. Baru terciptalah nanti perwujudan suatu kese¬jahteraan bagi seluruh masyarakat Indo¬nesia. Kalau desentralisasi, seluruhnya menerima. Tapi kalau federasi ada mung¬kin yang tidak menerima. Begitu pula serikat mungkin ada yang tidak menerima. Desentralisasi, karena itu suatu ide besar dari awal, semua bisa terima. Tapi otonomi sangat bahaya. Otomomi itu merdeka.

Desentralisasi dalam rangka persatuan ya?
Iya, dalam rangka persatuan. Persatuan saja. Dan tidak melanggar nilai-nilai dasar negara.

Kalau dikaitkan dengan proses demokratisasi yang sedang bertumbuh?
Ya bagus.

Dengan tuntutan otonomi?
Otonomi seperti apa? Desentralisasi. Mana ada boleh otonomi. Desentralisasi seluas-luasnya.

Yang Sekarang terjadi, ada tuntutan otonomi.
Itulah karena memang dibukakan keran otonomi. Bertentangan dengan ide besar. Tadi kan kita katakan, otonomi itu berbahaya.

Filosofinya persatuan?
Persatuan. Persatuan itu bisa diwujudkan desentralisasi, daerah-daerah memiliki kekuatan masing-masing, berbagai macam. Tetapi dalam persatuan Indonesia.

Kan begitu nilai-nilai dasarnya? Mengapa melenceng jauh?
Kita membela sebuah nama yang tidak pernah dicatat pada UUD. Di Preambule itu, nilai-nilai dasar itu tidak pernah disebut dengan singkatan Pancasila. Ketuhanan yang maka esa disebut. Kemanusian yang adil dan beradab. Dasar begitu saja. Sekarang dicetuskan, Pancasilanya dike¬depankan seakan-akan itulah jiwa. Tapi substansinya dilupakan banyak orang. Ayo sebutkan satu-satu, nggak tau. Sama sekali dalam Preambule itu tidak disebutkan bahasa itu. Mengapa yang itu yang jadi merakyat dan populer? Bukan lima dasar itu.

Jadi nilai-nilainya yang terpenting?
Mustinya nilai-nilai dasar. Jadi kok tidak pernah disebut. Mengapa kok jadi sebutan yang sangat sakral.

Mencari aman saja kali?
Ya, iyalah. Tapi mestinya fair dong. Kalau tidak disebut mestinya jangan marah. Undang-undang dasar saja nggak menyebut.

Kalau tidak disebut pun, tapi nilai-nilainya dijalankan?
Ya, iyalah nilai-nilainya dijalankan. Demokrasi pakai diembel-embeli Demokrasi Pancasila. Sudah dalam UUD dasarnya tidak ada, kalau mau masuk dan ubah itu preambule, kan tidak boleh diubah toh?
Sudah tidak konsekuen lagi. Dulu Indonesia itu toleransinya tinggi, kalau duduk satu meja begini, Bukan ini dari Bangladesh, Myanmar, Kamboja , Ini apa, itu apa, tidak! Itu menunjukkan bahwa Indonesia dulu itu terbuka.

Pasca itu jadi tertutup. Bencinya pada bangsa asing luar biasa, keluar nasionalisme, tidak terbuka, sementara yang nasiona¬lisme pun disuruh menghafal, juga enggak hafal. Kemarin kita ke Aceh. Saya tidak membayangkan bahwa belakangan ini rakyat Aceh yang terkesan GAM, anak umur belasan tahun setingkat SMP, dengan mudah menghapal Pancasila. Asumsi kita, ya sudahlah tidak ada yang diajarkan Pancasila. Ternyata? Luar biasa anak-anak itu. Lagu-lagu wajib kita pancing sedikit saja, wow, mereka itu langsung me¬nyanyikan dengan lancar. Ditanya, Pancasila itu. apa? Anak-anak itu jawab tangkas, dasar negara Indonesia. Apa itu Pancasila? Lima dasar. Apa itu lima dasar, anak-anak itu lancar menjawab.

Betapa hebatnya orang Aceh. Lalu, me¬ngapa sampai terjadi clash. Mengapa kita sampai curigai. Belum tentu anak-anak di Pulau Jawa itu seperti ini. Di mana salahnya. Sampai clash itu? Saya dialog dengan Gubernur dan Wakil Gubernur. Yang tadinya tinggi nadanya, kita redamkan dengan cara yang baik. Ternyata di lubuk hatinya tidak mau mi¬sah dengan Indonesia. Kita gali secara perlahan-lahan.

Jadi kalau melihat kondisi Seka¬rang. Ini kan memasuki tahun po¬litik. Politik yang kita tandai dengan mulai aktifnya para partai politik kampanye, mulai bulan Juli, sam¬pai sekian lama. Sangat lama. Tentu dalam politik yang diharapkan, pada waktunya akan tiba kekuasaan akan dipegang oleh orang tertentu yang dipilih secara demokratis dalam proses politik. Tapi tidak berhenti di situ, proses ini adalah untuk mencapai bagaimana Indo¬nesia mengisi kemerdekaannya atau membangun dirinya. Tentu ada harapan yang akan dicapai. Kalau melihat proses ini, menurut Syaykh, ada nggak harapan dan seperti apa yang bisa kita capai dalam 5 tahun ke depan?
Kita dengar dulu dong apa yang ditawarkan.

Kalau Syaykh menawarkan?
Sepeda, menggelinding terus.

Apa hubungannya dengan masa depan bangsa?
Ya, sepeda itu kan dipegang oleh pengendaranya. Power-nya itu dari pemimpinnya. Ito politik bersepeda. Ini yang mengendalikan. Saat naik, ikut naik. Saat turun, ikut turun. Maka kebangkitan nasional diisi dengan bersepeda 2000 km. Sekarang kan yang duduk di atas mobil, yang capek mobilnya. Yang merasakan turun juga mobil, bukan kita. Bagaimana rasanya turun dari yang tinggi, pakai mobil kan tak terasa. Bagaimana panas, tak terasa. Bagaimana hujan, tidak terasa. Bagaimana itu namanya BBM kaki. Menggenjot tatkala tanjakan yang 45 derajat. Bagaimana mengendalikan tatkala kita turun tanpa ada halangan. Stabil. Maka diajak bersepeda begini lo, kalau mau mengendarai dan mengendalikan kekuatan dahsyat, sepeda itu dahsyat, maka dinamakan bicycle. Cycle, cycling yang terus bergerak (putaran).

Bisa lebih diterjemahkan dalam aplikasi politik kenegaraan?
Sudah, yang tadi itu. Jangan diterjemahkan panjang-panjang. Bila menerjemahkan panjang-panjang itu namanya tajuk rencana. Ini pojok saja dulu.

Perlu diberi pemahaman, sosialisasi, filosofi bersepeda dalam rangka membangun negara?
Itu nanti. Sebelum apa-apa, dibaca orang sebagai kampanye. Cita-cita saja. Nanti bersamaan dengan filosofi bersepeda memang begitu. Terus berputar dan ada dua roda belakang dan depan.

Ada maknanya itu?
Lha iya, ada pimpinan dan ada yang dipimpin. Terus ada rem.
Pemimpin semua yang mengendalikan. Mau cepat, mau lambat. Tapi kalau pemimpin sedang teler? Teler dilarang naik sepeda. Dan nggak jalan sepeda.

Kalo gagah-gagahan?
Mana bisa gagah-gagahan, orang mengeluarkan nafas, mengeluarkan energi.

Oh iya, ia akan tumbang sendiri kali ya?
Nggak ada gagah-gagahan, gagah yang ada. Itu kan bukan gagah betulan kalau gagah-gagahan.

Tapi ada pemimpin yang bilang, mereka nggak tabu saya siang¬malam Sudah bekerja, masih begini orang ngomong?
Biasa. Harus dihormati orang bekerja itu.

Berarti dia tidak menganut filosofi naik sepeda?
Iya, dia kan naik mobil. Rodanya juga empat kan? Ini rodanya cuma dua. Harus digenjot dengan nyali dan energi (BBM kaki) agar terus berputar.

Sumber : Majalah Berita Indonesia Edisi 57 - 2008
Bacaan Selanjutnya!

Saturday, July 19, 2008

Pusat Pembibitan Sapi Nasional


Sebuah lembaga pendidikan menghibahkan 18 kepala sapi pejantan unggul kepada pemerintah (negara), suatu berita menarik yang belum pernah terjadi di negeri ini.

Biasanya pemerintahlah yang meng¬hibahkan sesuatu kepada lembaga pendidikan. Oleh karena itu, Berita Indonesia berulang kali menanyakan apa latar belakang, penyebab atau yang mendorong sehingga Al-Zaytun menghibahkan puluhan sapi pejantan unggul itu kepada pemerintah. Dalam rangkaian percakapan dengan Syaykh Panji Gumilang terungkap pula obsesi Al-Zaytun menjadi pusat bibit sapi nasional, baik perah maupun sapi pedaging.

Berikut petikan wawancara Berita Indonesia dengan Syaykh Abdussalam Panji Gumilang, di Wisma Al-Islah, Senin, 12 Mei 2008.

Apakah karena Syaykh mendengar keluhan dari pemerintah atau lembaga-lembaga lain mengenai susahnya memperoleh sapi pejantan unggul?
Tidak usah mendengar keluhan barn hibah. Itu namanya manusia pelit. Ibu pertiwi ini sedang merintih sekarang ini, jangan terlalu lama merintih.

Sekarang nggak merintih lagi seharusnya?
Mestinya. Tapi kan sekarang sedang merintih. Minyak, baik itu minyak bakar, minyak goreng, maupun minyak pelumas, sudah dicari. Produk energi sudah mulai turun. Sesungguhnya, kita nggak usah lagi menggali minyak bumi.

Sapi Bangsa Baru: Sapi hasil crossing yang dilakukan oleh Al¬Zaytun terdiri dari 3 bangsa sapi yakni Limousin, PO dan Bali dinamakan LIMPOBAL, dalam usianya yang 2 tahun 9 bulan mempunyai bobot 480 kg.

Diamkan saja, bikin minyak hijau. Juga, tanam padi sebanyak-banyaknya. Toh manusia sekarang butuh beras. Dari sejak awal, food and agriculture memegang kendali kehidupan. Siapa punya pangan banyak, dia yang mampu me¬nguasai manusia banyak. Siapa yang punya energi cukup, dia akan menguasai politik dunia. Sekarang, ok, tutup semua itu penggali minyak. Sekarang kita pakai minyak hijau.

Minyak bio?
Jangan, kalau bio masih lama. Minyak goreng untuk menyalakan lampu tempel saja dulu. Itu cuma seratus hari.

Seratus hari pakai minyak goreng?
Ya, sehingga otak ini keluar semua. Yang cerdas-cerdas memikirkan seratus hari, tumbuh minyak yang hakiki. 0rang bertapa itu kan begitu.

Hanya butuh seratus hari bertapa bangsa ini sehingga bisa keluar dari krisis?

Ya, seperti makan tempe kan? Tidak usah impor, bertapa dulu seratus hari. Tanam, kedelai. Sekarang Al-Zaytun sudah surplus kedelai. Bergs, tidak usah teriak-teriak. Jangan makan beras. Makan yang mengenyangkan dan sehat saja. Lalu seratus hari nanam, panen surplus.

Tapi itu memerlukan pe¬mimpin panutan dan berani?
Bagaimana pemimpin tidak panutan dan berani? Siapa saja bisa asal mau. Siapa pun bisa. Tapi ini memang belum mau. Pemimpin Indonesia ini Siapa pun bisa. Cuma memilih programnya.

Ada juga yang tidak berani mengambil program seperti itu?
Belum tentu tidak berani, mungkin tidak terpikirkan. Padahal bangsa ini pintar-pintar. Sejak 1800-an, bangsa Indonesia telah menanam kedelai. Juga sudah menanam padi. Sejak 1818, sapi sudah didatangkan ke Indonesia. Jadi, bangsa Indonesia semua bisa asal memilih program yang tepat. Ini kan belum tepat semua. Padahal pintar-pintar kok bangsa Indonesia ini.

Kembali ke pembicaraan sapi yang dihibahkan. Walaupun tali Syaykh sudah jelaskan dalam rangka kebangkitan nasional, supaya bangsa ini bangkit. Tapi mungkin akibat kekurang-seriusan pemerintah atau instansi yang terkait untuk melahirkan sapi pejantan unggul?
Sesungguhnya, keseriusan itu bisa ditengok dari beberapa segi. Sudah dimulai dari sejak awal, tahun 2000, didanai, diatur dengan program, apakah itu tidak serius? Tapi mengapa tidak berhasil, itu yang tidak tahu.

Programnya, barangkali hanya serius di atas kertas?
Serius sesunguhnya, serius. Kalau bicara, serius. Rapatnya saj a berpuluh-puluh kali. Terhitung rapat uji progeny sudah 42 kali, tapi yang berhasil baru di Al-Zaytun. Embrio transfer sudah kemana-mana menyebar, yang ada yang tersisa dan terpelihara dengan baik hanya di Al-Zaytun. Jadi kita tidak paham itu kenapa tidak berhasil. Padahal, ciri¬ciri serius adalah diberi modal, negara ngasih modal; Ada organisasi, yaitu dings-dings; Ada ahlinya, profesor, doktor dan rapat, cukup. Nah, kenapa yang tidak didanai sama sekali, kok berhasil. Seperti Al-Zaytun, tidak mengambil dana dari anggaran belanja Negara, tapi dana sendiri dan berhasil.

Lalu, kenapa yang tidak didanai justru berhasil?
Nah, itulah yang kita tidak tahu. Kalau begitu, barangkali jangan didanai semua.

Tapi kan memerlukan biaya besar?
Butuh biaya, tapi dana sendiri.

Berbiaya besar dan didanai sendiri. Lalu kenapa dihibahkan, dikasih gratis?
Kalau mau ngasih, kasihlah yang disayangi. Itu teori ilahi begitu. Kamu tidak akan mendapat kebaikan sebelum kamu memberikan sesuatu yang sangat kamu cintai. Ini bull yang paling dicintai, hari-hari diajak bicara, disayang di Al-Zaytun. Melihat Ibu Pertiwi sedang sangat kekurangan bibit unggul. Cuma punya sepuluh persen. Dan semua akan dihibahkan, cuma belum terpilih semua, mungkin nanti bertahap.

Memang semua mau dihibahkan juga?
Semua. Kita bisa jadikan bull yang bagus lagi. Hadiahkan lagi. Kalau dijual kan cuma berapa?

Puluhan miliar?
Murah, miliar itu bisa dicari. Yang penting bangsa kita ini bangkit. Protein terpenuhi, susu terpenuhi.

Ukuran puluhan miliar terlalu kecil?
Terlalu kecil. Amat sangat kecil.

Biar pun itu tidak didanai oleh pemerintah?
Jangan ngomong tidak didanai. Kita tinggal di Indonesia ini berarti Indonesia memberikan sesuatu pads kita. Tidak harus dari pemerintah dong.

Dalam proses penghibahan ini, Al-Zaytun yang menawari atau pemerintah?
Ya sama, kita mendengar rintihan, ya kita tawarkan, dan diterima.

Tapi pasti ada forumnya?
Kita selalu ikut forum-forum itu. Menyaksikan 42 kali sidang. Itu ke itu. Maka kita teriak, ambil semuanya.

Kenapa sampai Syaykh teriak, apa kondisinya?
Kondisinya ya itu, rapat dari itu ke itu saja, tidak berhasil lagi. Sedangkan semua terdanai dengan bagus. Nah, kita tidak pernah minta. Satu sen pun tidak pernah minta. Kita sekarang hibahkan semua. Dalam mulut kami bicara, semua bull yang dianggap, baik untuk pejantan, ambil semua¬nya. Kita punya 46 itu. Sekarang baru tepilih 18.

Apa reaksi mereka, kaget atau bagaimana?
Ya, sedikit kaget. Tapi kan tidak perlu dengan kaget terus kita senang. Nggak, dia menerima gitu.

Bukan soal senang, tapi pemerintah sendiri kan tidak berhasil walaupun sudah mengeluarkan biaya banyak? Tapi Al¬Zaytun danai sendiri, lalu semua malah mau dikasih, dihibahkan. Apakah pemerintah berterima-kasih?
Kalau memberi kepada negara jangan pernah mengharapkan ucapan terimakasih. Kita ini keluarga Indonesia. Kan ekonomi diatur secara kekeluargaan.

Tapi walaupun hibah, bisa saja nanti biaya transportnya lebih besar?
Oh tidak. Semua kita antar, supaya tidak ada mark up. Nanti dipikirnya hibah koq ada apa-apanya.

Sesungguhnya apa yang ada di pikiran Syaykh sampai menghibahkan sedemikian rupa?
Supaya maju. Peternakan Indonesia supaya tidak mengeluh setiap saat. Untung saya diundang setiap rapat-rapat begitu itu, jadi saya senang mendengar hal ini. Oh, koq masih mengeluh saja. Punya sepuluh persen kasihlah sepuluh persen. Pun yang menghitung sepuluh persen bukan kami tetapi mereka. Kita pun kaget, kok cuma 18 saja bisa sepuluh persen. Berarti sedikit sekali keperluan itu. Indonesia segini besarnya koq sedikit sekali keperluan itu. Maka, tunggu lima tahun, akan kita penuhi seratus persen. Dan bukan 18, seratus persennya. Kita ingin Indonesia ini memi¬liki sapi minimal seperempat jumlah manusianya.

Kalau idealnya berapa?
Itu ideal. Seperempat dari ma¬nusianya. Terns yang seperempat itu nambah lagi seperempat, untuk ekspor. Nambah lagi seperempat, ekspor. Nambah lagi seperempat, ekspor. Begitu seterusnya. Kan enteng, Indonesia tempat rumput, tempat jagung, tempat segala-galanya. Pemeliharanya pun banyak.

Jadi sudah ada penyerahan resminya?
Sudah. Tanga disaksikan siapa-siapa. Malaikat yang menyaksikan, kanan dan kiri.

Proses formalnya sudah?
Sudah. Dan bangsa sapi yang kita hibahkan ini, bangsa sapi yang sedang diminati oleh bangsa Indonesia, yang na¬manya simental, Limousin, FH, anges, brangus, semuanya diminati. Jadi ke depan, kita harapkan, di sini (Al-Zaytun) menjadi pusat bibit sapi, baik perah maupun sapi pedaging. Kalau sapi perah pasti dapat daging, kalau sapi pedaging tidak dapat susu.

Maka Al-Zaytun prioritaskan sapi perah?
Sapi perah. Maka, anak jan¬tannya harus di-cut. Teorinya, anak jantan itu 50 persen. Kalau kita punya seribu, akan dapat lima ratus anak jantan. Itu anak jantan yang dikehendaki dagingnya. Tapi suatu saat kita membikin anak betina yang tidak dikehen¬daki, tapi anak jantan. Itulah namanya untuk pejantan unggul tadi. Kanada mena¬warkan ke kita satu, Rp 2,5 M. (US$ 250.000) satu kepala sapi pejantan. Kalau saya sebagai pemegang kendali Indonesia, kita ambil paling tidak 200. Lima tahun, kita sudah berdiri sendiri dan bisa mengekspor. Jangan diurus oleh dings-dings. Tunjuk swasta-swasta yang bertanggung jawab, diaudit. Lima tahun beres.

Itulah ya akses ke tempat berkuasa itu. Coba, kalau Syaykh yang pemegang kendali?
Iya, kan pemegang kendali di Al-Zaytun sudah. Makanya itu kita masuk.

Iya, jadi apa yang kita harap kalau yang dipilih masih seperti begini?
Jangan nunggu itu, yang sudah ada saja yang kita buat. Makanya kita buat sekarang.

Seharusnya setiap pemimpin nasional datang ke sini kalau mau series mengelola Negara?
Tidak harus ke mana-mana. Pikiran ini sesuaikan dengan kenyataan, itu saja sudah se¬lesai. Kita ingin tahu perkem¬bangan di rumah, kan tidak mesti duduk di rumah. Kan ba¬nyak malaikat, dari akhbar, dari televisi, dari cerita, dari situ kan bisa dilihat, cerna di dalam, kerjakan. Seperti kita mengimani Muhammad Rasullulah, seperti kita meng¬imani Yesus. Ketemu juga nggak. Tapi perjuangannya kan bisa dicerna di sini. Masukkan dada, kerjakan, kan gitu. Jadi tidak harus melihat. Itu namanya orang masih kurang pintar.

Ustadz Abdul Halim dari New Zealand, rupanya telah menseleksi sapi. Mau dikemanakan sapi yang seribu dua ratusan itu?
Ya sekarang sapi sedang di kapal. Sedang menari-nari di kapal. Datang, ya kita ternak. Menyambut kebangkitan na¬sional semua ini. Dimulai dari 1200 ini.

Tapi konon susah juga mendatangkannya, padahal demi kebangkitan nasional, sampai prosedurnya juga sulit?
Oh, itu prosedur sulit itu kan di Indonesia sudah biasa. Siapa yang berani menghadapi kesulitan dialah yang berhasil.

Jadi tidak perlu dikeluhkan?
Tidak perlu dikeluhkan. Keluar uang nyogok juga jangan. Jalan saja. Kalau kita harus nyogok berarti pendidikan nyogok.

Barangkali itu yang mempersulit ya. Dalam tanda kutip?
Jangan, kita tidak menduga sama sekali itu.

Iya, memang harus ditempuh?
Tempuh saja. Manusia modern kan prosedural. Ke depan, kalau kita bisa sempurnakan, ya disederhanakan, dipraktiskan.

Kembali ke hibah tadi. Tentu dihibahkan dengan sukarela tanpa mengharapkan imbalan demi tu¬juan yang Syaykh tadi sudah jelaskan. Tapi melihat pengalaman, pemerintah selalu gagal? Jangan-jangan nanti salah memelihara sehingga sapi-sapinya tidak bisa berproduksi?
Kalau itu enggak. Sebab nanti itu disebarkan ke peternak. Yang dimasukkan gagal tadi, mewujudkan menyediakan bibit seperti itu yang banyak gagal.

Bukan untuk diberikan kepada pihak instansi?
Nanti instansi yang punya we¬wenang menyebarkan bibit, itulah yang mengelola. Kalau mengelola bibit berjalan baik di Indonesia ini. Mengelola produksi semen, itu berjalan. Yang kita bicarakan kegagalan tadi, mempersiapkan uji zu¬riat, mempersiapkan perwu¬judan bibit unggul, itu belum berhasil baik.

Jadi sesudah berproduksi begitu, tinggal memelihara?
Tinggal memelihara dan men¬distribusikan. Jadi jangan maknai salah.

Maksud saya juga begitu, nanti di dalam pemeliharaan. Ini kan dihibahkan? Jangan jangan yang dihibahkan ini gagal?
Insya Allah baik, karena tenaga pelaksananya sudah teruji di BIB itu. Punya pengalaman baik, tinggal mendistribusikan hasil. Malah, kalau tidak kita hibahkan, di sini saja, kurang pemanfaatannya. Karena memenuhi kebutuhan kita saja kan terlalu sedikit.

Kan bisa dijual?
Jangan bicara jual. Kita itu bicara masyarakat peternak Indonesia ini harus dibantu.

Tapi tetap juga ada nilai jualnya?
Ya, kalau dihitung uang, itu sedikit sekali. Tapi kalau sudah jadi sapi, artinya besar. Bisa menghasilkan 270 ribu sapi per tahun kali 300 kg kali Rp 30 ribu. Jadi 2,5 triliun per tahun. Itulah nilai hibahnya.

Masih hanya 18 kepala sudah 10% dari kebutuhan?
Hibah ini bisa memenuhi kebutuhan 10%. Satu lembaga pendidikan, bukan lembaga perdagangan, bisa masukkan hibah, menduduki 10%. Kalau saham, itu kan 10%. Jadi sa¬hamnya 10%. Pemerintah sen¬diri hanya Sekonyong¬konyong datang pendatang baru ambil 10%. Ibarat sahamlah. Kalau dalam percaturan dunia bisnis, ini sudah menguasai, pendatang baru ini. Sekonyong-konyong sudah staf direksi. Kan, logika saham itu begitu.

Al-Zaytun kan menghibahkan kepada pemerintah. Apa ada semacam perjanjian dengan pemerintah bahwa nanti mereka tidak boleh menjualnya ke masyarakat?
Mesti dijual. Itu semen mesti dijual. Bagaimana tidak dijual, untuk memproses, mewujudkan semen itu ada biaya? Menyimpannya, ada biaya. Ya itu, ganti Rp 10 ribu tadi. Ini untuk negara. Lepaskan, mau dikasihkan cuma-cuma, mau dijual kek, Itu terserah mereka. Yang penting ada lembaga swasta, pendidikan pula, mendorong kemajuan peternakan Indonesia. Memberikan 10%-nya dari kebutuhan nasional.

Sumber : Majalah Berita Indonesia Edisi 57 - 2008
Bacaan Selanjutnya!